Brisbane (ANTARA News) - Dialog tentang Ahmadiyah yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Australia-Selandia Baru di Canberra pekan lalu memandang usul sementara pihak agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam sebagai "lelucon besar dalam sejarah bangsa Indonesia". "Mengusulkan Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam, sebagaimana dilontarkan beberapa pihak di Indonesia, adalah lelucon besar dalam sejarah bangsa. Demikian benang merah yang bisa diambil dari diskusi publik ini," kata Ketua Panitia Diskusi, Moh. Yasir Alimi, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Rabu. Diskusi tentang Ahmadiyah yang berlangsung di kampus Universitas Nasional Australia (ANU) Canberra 23 Mei lalu itu merupakan puncak dari serangkaian acara yang diselenggarakan PCI-NU Australia-Selandia Baru untuk memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, katanya. Dalam dialog bertema "Our Mosque is Burned Down": Constitution, Faith and One Hundred Years National Awakening" (Masjid Kami Dibakar: Konstitusi, Kepercayaan dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional" itu, muncul perbedaan pandangan di antara peserta Muslim yang hadir dalam menyikapi isu Ahmadiyah ini. "Meski ada perbedaan pendapat di banyak tempat, para aktivis Islam yang hadir sepakat bahwa dalam penanganan kasus Ahmadiyah, pendidikan dan dialog diperlukan," kata Yasir, yang juga ketua panitia peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional PCI-NU ini. Dialog interaktif yang berlangsung di ruang "Extension Building" ANU itu menghadirkan kalangan Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah sebagai pembicara utama. Di antara pembicara utama tersebut adalah Kiai Syarif Usman Yahya (ulama senior dari Cirebon, Jawa Barat), Dr. Nadirsyah Hossen (dosen hukum Universitas Wollongong yang juga Syuriah PCI NU Australia-Selandia Baru), serta Bagus, Musa dan Helen Musa (Ahmadiah). Dalam pandangan Dr. Nadirsyah Hosen, patokan yang harus digunakan berbagai pihak dalam menghadapi kasus Ahmadiyah di Tanah Air adalah konstitusi (UUD 1945), bukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena fatwa MUI tidak mengikat bangsa Indonesia. "Baginya, membela konstitusi sama halnya dengan membela ajaran ahlu sunnah wal jamaah," kata Yasir. Dr. Nadirsyah, katanya, mengusulkan agar kelompok-kelompok yang menuntut pelarangan Ahmadiyah, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir, tidak memperlakukan Ahmadiyah sebagaimana Orde Baru memperlakukan mereka. "Jangan sekali-kali membuka pintu bagi pemerintah untuk mengulang sejarah lagi. Yang terjadi pada Ahmadiyah bisa terjadi pada mereka. Kedua, soal penjagaan akidah ahlu sunnah wal jamaah, hendaknya hal ini dilakukan dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan," katanya.Bekerja bersama Dalam konteks kerja-kerja sosial, NU, Muhammadiyah dan Ahmadiyah justru bisa bekerja sama, termasuk dalam pemberantasan kemiskinan dan pelayanan pengobatan massal, kata Yasir. Aktivis NU yang sedang merampungkan pendidikan pasca-sarjana bidang antropologi di ANU ini mengatakan, acara diskusi tentang Ahmadiyah ini ditutup dengan orasi ilmiah dari Indonesianis ANU, Prof. Anthony Jones tentang masa depan konstitusi, agama dan toleransi di Indonesia setelah 100 Tahun Kebangkitan Nasional. "Kita semua menghadapi sebuah abad baru...banyak tantangan baru, Gerakan pembaharuan dan revivalitas menyapu dunia Islam," katanya seperti dikutip Yasir. Menurut Prof. Jones, Islam adalah agama perdamaian. Bahkan salah satu asma Allah adalah as-Salam. Oleh karena itu, perdamaian dan ilham itu harus dikejar dan dipeluk. Selain menyelenggarakan diskusi tentang Ahmadiyah, PCI NU Australia dan Selandia Baru sebelumnya juga menggelar kegiatan "Dzikiran dan Shalawatan" di seluruh negara bagian di Australia serta menyerahkan penghargaan "Fatehah Award" kepada Kiai Sepuh Syarif Usman Yahya, atau Abah Ayip, pengasuh pondok pesantren Kempek Cirebon atas ketokohannya di Cirebon. Persoalan "Ahmadiyah" kembali mencuat ke ranah publik yang menyita perhatian khalayak ramai di Tanah Air maupun di Australia, menyusul rekomendasi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kejaksaan Agung (Bakor Pakem Kejagung) yang menyatakan aliran Ahmadiyah sebagai sesat 16 April lalu. Isu "Ahmadiyah" semakin menghangat setelah sekelompok anggota masyarakat di Desa Parakan Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 28 April lalu, merusak masjid milik pengikut Ahmadiyah, dan enam orang Ahmadi asal Nusa Tenggara Barat meminta suaka politik kepada pemerintah Australia melalui kantor konsulatnya di Bali. Aliran yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad asal Pakistan ini dinilai bermasalah karena dianggap kalangan arus utama (mainstream) Islam di dunia mengajarkan teologi menyimpang dari ajaran pokok atau akidah Islam, khususnya menyangkut status kenabian yang dilekatkan sang pendirinya. Dalam ajaran Islam yang dianut secara umum, Nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir dan tidak ada rasul lain dalam Islam setelah Beliau. (*)

Copyright © ANTARA 2008