Singapura (ANTARA News) - Minyak diperdagangkan di kisaran 133 dolar AS di perdagangan Asia, Selasa pagi, menyusul pemberitaan mengenai kerusuhan yang meletus di di Nigeria, eksportir minyak utama Afrika, kata dealer. Kontrak berjangka minyak utama New York jenis light sweet untuk pengiriman Juli naik 81 sen menjadi 133 dolar per barel setelah liburan "Memorial Day" di Amerika Serikat pada Senin. Kontrak acuan ditetapkan pada 132,19 dolar per barel pada Jumat lalu. Sementara untuk minyak mentah Laut Utara Brent juga untuk pengiriman Juli diperdagangkan 49 sen lebih tinggi yakni pada posisi 132,86 dolar AS per barel. Brent pada Kamis pekan lalu sempat menyentuh level tinggi di 135 dolar yakni mencapai 135,14 dolar dan minyak mentah New York mencapai rekor tinggi 135,09 dolar. Kelompok militan Nigeria Senin mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan serangan sebuah jaringan pipa minyak milik Royal Dutch Shell pada kawasan produksi utamanya, memaksa perusahaan itu menghentikan produksinya. Shell mengkonfirmasikan bahwa serangan terjadi pada jaringan Nembe Creek di Awoba di negara bagian Rivers dan mengatakan bahwa produksi telah terpengaruh tetapi tidak menyebutkan berapa besar penurunan produksi yang terjadi. Sementara itu raksasa energi Anglo-Dutch pada beberapa pekan lalu mengatakan bahwa perusahaan itu menderita kerugian setara 30.000 barel minyak mentah per hari karena serangan di beberapa instalasinya. Nigeria secara resmi sebagai eksportir minyak terbesar ke delapan dunia, tetapi lebih dua tahun terakhir produksinya turun dengan seperempatnya menjadi sekitar 2,1 juta barel per hari karena berbagai serangan pemberontak. Minyak mentah berjangka telah mengalami kenaikan dengan lebih dari sepertiga sejak awal 2008 pada saat harga minyak menyentuh 100 dolar untuk pertama kalinya, dipicu oleh ketidakpastian di beberapa negara produsen minyak, penurunan cadangan energi, permintaan di Asia untuk bahan bakar yang tinggi serta melemahnya dolar AS. Penolakan oleh negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk menambah produksi mereka juga membantu mendorong harga melambung. Presiden OPEC, Chakib Khelil, Senin, menyatakan kenaikan harga minyak diakibatkan para spekulan, berbagai masalah geopolitik dan juga melemahya dolar, di mana semua itu merupakan "berbagai faktor diluar kontrol" OPEC. OPEC yang memproduksi 40 persen dari minyak dunia, secara konsisten mengatakan bahwa pasar dalam pasokan yang baik dan bahwa harga minyak yang menguat itu lebih diakibatkan oleh spekulasi kegiatan investasi ketimbang kondisi permintaan dan pasokan, demikian laporan AFP. (*)
Copyright © ANTARA 2008