Bandung (ANTARA News) - Sejumlah kepala daerah yang menolak program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap pemerintah pusat, kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Sosial Chazali H Situmorang.
Kepada wartawan usai acara Sosialisasi Program Pemberdayaan Sosial Tahun 2008 di Bandung, Senin, Chazali mengatakan, program BLT untuk masyarakat miskin tahun 2008 ini tertuang dalam Intruksi Presiden No.3 Tahun 2008, tentang program pemerintah dampak kenaikan harga BBM untuk masyarakat miskin.
Program BLT ini, kata dia, langsung diperintahkan Mendagri untuk dilaksanakan di semua daerah kota/kabupaten se-Indonesia. Jika ada yang menolak, berarti sama halnya melanggar.
"Program dari pemerintah pusat ini sifatnya harus dilaksanakan dan untuk disukseskan. Kebijakan ini diambil untuk menyelamatkan APBN," ungkapnya.
Halangi niat baik pemerintah?
Chazali berpendapat, program BLT ini merupakan bantuan tunai langsung dari pemerintah kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi pengurangan subsidi BBM.
"Jadi jika ada kepala daerah yang menolak, jangan menghambat niat baik pemerintah untuk membantu masyarakat miskin. Bukannya membantu, ini malah menolak. Ini kan hak rakyat miskin mendapat bantuan, saya pikir jangan dihalangi," tandasnya.
Ditanya tentang sanksi administrasi terhadap kepala daerah yang menolak BLT, dia menyebutkan, urusan sanksi adalah kewenangan Mendagri, karena yang membina bupati atau wali kota adalah Mendagri bukan Mensos.
Depsos, kata dia, kini memiliki program penguatan dalam bentuk pemberdayaan sosial di masyarakat, hal ini dapat membantu program BLT hingga tahun mendatang.
"Program dari Depsos ini sebenarnya sudah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti bantuan sosial (social security) pemberdayaan fakir miskin, program UKM kredit tanpa agunan dalam kelompok-kelompok usaha, dan lainnya," papar dia.
Program-program ini, kata dia, akan lebih ditingkatkan pada tahun 2009, bahkan pemerintah sudah memprogramkan, bantuan dana Rp3 miliar per kecamatan untuk pemberdayaan masyarakat miskin.
Menyinggung program BLT yang terkesan dadakan, Chazali menerangkan, pemerintah memang memiliki hak mengambil kebijakan dalam kondisi darurat. Dalam konteks ini, kenaikan harga minyak dunia menekan kondisi keuangan negara.
Pada kesempatan yang sama Ketua Komisi VIII DPR Dzulkarnaen mengatakan, Inpres No.3/2008 mengacu pada UU APBN Perubahan Tahun 2008 pasal 14.
"Dalam pasal itu disebutkan, pemerintah dapat membuat satu kebijakan baru secara kondisional jika terjadi keadaan darurat. Pemerintah diberi kewenangan untuk itu. Program BLT ini adalah salah satu kebijakan dimaksud," kata Wakil Ketua Panggar DPR itu.
APBNP akan terus dipatok ke minyak dunia?
APBNP dibahas pemerintah dan DPR yang lalu, disetujui karena perhitungan APBNP yang ada sudah melewati batas kemampuan akibat kenaikan harga minyak dunia, katanya.
"APBNP kita awalnya hanya memperhitungkan kenaikan harga minyak dunia sebesar USD95 per barel. Sedang harga sekarang sudah mencapai USD 135 per barel," ujarnya.
Jika tidak mengambil kebijakan pengurangan subsidi BBM, kata dia, anggaran subsidi BBM yang hanya Rp120 triliun akan membengkak menjadi Rp200 triliun dan bisa lebih, kondisi seperti itu tidak aman bagi APBNP.
"Langkah menaikkan harga BBM dalam negeri terpaksa dilakukan. Apabila tetap bertahan pada harga lama, subsidi BBM mencapai Rp800 miliar per hari. Dari yang sebelumnya di bawah Rp500 miliar per hari," jelasnya.
Dengan menaikkan harga BBM, kata dia, pemerintah bisa menghemat uang sebesar Rp34,5 triliun. "Dana ini yang dikompensasikan kepada masyarakat miskin dalam bentuk program BLT," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008