Makanya saya usulkan dewan pengawas KPK, Kompolnas dan Komjak saja tidak berjalan dengan baik jadi 'powernya' harus lebih lagi, tambahnya

Jakarta (ANTARA) - Calon pimpinan KPK Roby Arya Brata menyatakan ingin mengajukan revisi Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi agar dapat memasukkan dewan pengawas dalam struktur institusi penegak hukum tersebut.

"Itu (UU KPK) pasti akan saya ubah. CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) Singapura dan ICAC (Independent Commission Against Corruption) Hong Kong jadi hebat setelah tiga kali diubah. Kita tidak pernah diubah, tidak ada dewan pengawas, kalau ada dewan pengawas friksi bisa ditekan, dewan pengawas harus ada, itu yang pertama," kata Roby di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis.

Roby menyampaikan hal itu saat mengikuti uji publik seleksi capim KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019. Uji publik itu diikuti 20 capim, sehingga per hari pansel KPK melakukan wawancara terhadap tujuh orang capim yang dilakukan bergantian selama satu jam.

"Kemudian mesti ada perlindungan terhadap penyidik dan pimpinan KPK. Begitu pimpinan keras, Pasal 41 memungkinkan sekali tersangka mundur. Bahwa ada impunitas gugatan perdata dan pidana saat mereka menjabat. Saat menjalankan tugas jangan diganggu dengan gugatan perdata dan pidana," tambah Roby.

Baca juga: Capim KPK Nurul Ghufron dicecar soal LHKPN hingga plagiarisme

Dewan pengawas yang dimaksud, menurut dia, bahkan punya wewenang lebih besar dibanding Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) maupun Komisi Kejaksaan (Komjak).

"Makanya saya usulkan dewan pengawas KPK, Kompolnas dan Komjak saja tidak berjalan dengan baik jadi 'powernya' harus lebih lagi," tambahnya.

Roby yang saat ini menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet itu juga menilai bahwa KPK tidak memenuhi standar penegakan hukum saat menetapkan dan mengumumkan seseorang sebagai tersangka.

"KPK memang tidak memenuhi standar law enforcement yang berdasarkan due procession of law. UU KPK yang mengatakan tidak mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) itu saja tidak sesuai dengan due procession of law, jadi memang banyak yang diperbaiki soal law enforcement," ungkap Roby yang sudah melamar sebagai pimpinan KPK hingga tiga kali itu.

Baca juga: Capim KPK Neneng ingin menjadikan KPK berkelas dunia

Sejumlah hal lain yang ingin diubah Roby juga dengan menempatkan petugas KPK di kantor-kantor pemerintah daerah.

"Bagaimana caranya agar penegak hukum tidak memeras saat pengawasan internal lemah di pemda-pemda? Hal ini karena pengawasan internal diangkat dan diberhentikan kepala daerah. Saya usul pengawasan internal itu orang-orang KPK karena mereka akan takut bila 'anjing herder' di sana sehingga 'tikus-tikus' tidak mencuri," kata dia.

"Tapi kami dapat informasi kalau bapak temperamental?" tanya anggota pansel Diani Sadia Wati.

"Apa? Saya orangnya sabar," jawab Robby dengan nada meninggi. "Iya Pak, saya percaya bapak sabar," kata Diani lagi.

Baca juga: Capim KPK Nawawi rela melepas jabatan hakim

Panelis dalam uji publik tersebut terdiri atas pansel, yaitu Yenti Garnasih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, Hamdi Moeloek dan Al Araf. Pansel juga mengundang dua panelis, yaitu sosiolog hukum Meutia Ghani-Rochman dan pengacara Luhut Pangaribuan.

Panitia seleksi (pansel) capim KPK pada Jumat (23/8) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment. Mereka terdiri atas akademisi/dosen tiga orang, advokat (1), pegawai BUMN (1), jaksa (3), pensiunan jaksa (1), hakim (1), anggota Polri (4), auditor (1), komisioner/pegawai KPK (2), PNS (2) dan penasihat menteri (1).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019