New York (ANTARA News) - Setelah mencabut larangan bepergian (travel warning) ke Indonesia, pemerintah Amerika Serikat masih memberlakukan larangan serupa ke tiga negara di kawasan Asia Tenggara, yaitu Timor Leste, Myanmar dan Filipina. Timor Leste, Myanmar dan Filipina adalah tiga di antara 26 negara di dunia --kebanyakan di Afrika -- yang hingga hari Minggu (25/5) masih dikenai larangan oleh Washington dengan alasan beragam, baik karena masalah keamanan maupun terjadinya bencana alam dengan skala kerusakan besar. Menurut Departemen Luar Negeri AS, larangan bepergian yang dijatuhkan terhadap Timor Leste sejak 12 Februari 2008 lalu dianggap masih perlu dipertahankan berkaitan dengan terjadinya percobaan pembunuhan pada Februari lalu terhadap Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao maupun potensi kekerasan yang akan terus berlangsung di negara bekas propinsi Indonesia tersebut. Larangan itu sendiri untuk memperbarui `travel warning` yang diberlakukan AS ke Timor Leste pada 12 September 2007. Adapun larangan bepergian terhadap para warga AS ke Myanmar diberlakukan sejak 5 Mei 2008 berkaitan dengan terjadinya bencana alam hebat Topan Nargis yang melanda negara tersebut pada 2-3 Mei lalu hingga menewaskan setidaknya 10.000 orang. Dalam larangan tersebut, AS mengingatkan warganya untuk tidak bepergian ke Myanmar karena sulitnya situasi dan dan berbagai fasilitas pascaterjadinya bencana, seperti tumbangnya pohon-pohon besar maupun menara pembangkit listrik, turunnya hujan deras yang menyebabkan banjir di banyak wilayah, berkurangnya persediaan air bersih, serta terganggunya sistem telekomunikasi dan transportasi. Sementara itu, larangan yang dikenakan kepada Filipina dijatuhkan AS dengan adanya kekhawatiran berkaitan dengan aksi kekerasan serta penculikan warga asing untuk meminta tebusan. Washington memberlakukan larangan bepergian terhadap warga AS ke Filipina sejak 13 Februari 2008, yang memperbarui larangan serupa yang dikeluarkan pada 27 April 2007. AS mengingatkan warganya untuk tidak bepergian terutama ke wilayah Mindanao, kawasan Filipina bagian selatan dan kepulauan Sulu karena kemungkinan adanya resiko menyangkut aksi kekerasan. Pemerintah AS mencatat bahwa kelompok-kelompok gerilyawan seperti Abu Sayyaf dan "Jema`ah Islamiyah" maupun kelompok-kelompok pecahan dari Front Pembebasan Islam Moro ataupun Front Pembebasan Nasional Moro, telah melakukan pemboman di beberapa tempat hingga menewaskan sejumlah orang. AS juga mengingatkan tentang beroperasinya kelompok-kelompok penculik di Filipina yang meminta tebusan, yang korbannya termasuk warga asing. Seorang warga negara AS telah menjadi korban penculikan yang terjadi pada Oktober 2007 dan menurut Deplu AS hingga kini korban yang bersangkutan belum diketahui keberadaannya. Washington mengingatkan bahwa organisasi gerilyawan Tentara Rakyat Baru (NPA) masih beroperasi di berbagai wilayah pedalaman di Filipina, termasuk di Luzon, pulau yang ada di Filipina utara. Kendati hingga kini tidak ada warga asing yang menjadi target serangan, AS mengkhawatirkan bahwa NPA bisa saja mengancam para warga AS yang melakukan kegiatan di bidang bisnis dan manajemen properti. NPA sendiri dilaporkan kerap meminta `pajak revolusioner`. Secara keseluruhan, hingga Minggu Departemen Luar Negeri AS masih memberlakukan `travel warning` ke 26 negara, termasuk di kawasan Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pencabutan larangan ke Indonesia sendiri diumumkan Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron R. Hume pada 25 Mei setelah AS melihat bahwa kondisi keamanan di Indonesia sudah lebih kondusif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. AS, yang sebelumnya memberlakukan larangan ke Indonesia sejak November 2000, menganggap Indonesia telah berhasil melakukan perbaikan menyangkut situasi keamanan. Perbaikan itu terlihat dari sisi bahwa Indonesia tidak lagi mengalami serangan teroris dalam skala besar sejak Oktober 2005 dan pemerintah Indonesia juga telah membongkar, menangkap, dan mengadili berbagai elemen terorisme, katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008