Masih diperlukan harmonisasi regulasi, pengawasan awak kapal ikan, dan edukasi masyarakat agar kesadaran pekerja awak kapal ikan bisa ditingkatkan.

Jakarta (ANTARA) - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Destructive Fishing Watch Indonesia mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah yang membentuk tim perlindungan awak kapal perikanan.

"Langkah (pembentukan tim perlindungan awak kapal perikanan) itu diharapkan dapat mengurai permasalahan dan carut marut tata kelola awak kapal ikan yang bekerja didalam dan luar negeri," kata Koordinator Nasional DFW-Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Kamis.

Namun, menurut dia, masih diperlukan harmonisasi regulasi, pengawasan awak kapal ikan, dan edukasi masyarakat agar kesadaran pekerja awak kapal ikan bisa ditingkatkan.

Apalagi, ia menilai bahwa awak kapal ikan selama ini kerap menjadi korban, sehingga Pemerintah perlu mengatur tata kelola awak kapal ikan dari proses rekruitmen, penempatan dan kepulangan.

Baca juga: KKP bersinergi tingkatkan perlindungan bagi awak kapal perikanan

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman membentuk Tim Perlindungan Awak Kapal Ikan (PAKP). Upaya ini merupakan cara untuk meningkatkan perlindungan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di dalam maupun luar negeri.

Hal tersebut antara lain karena tenaga kerja di sektor perikanan tangkap belum ditangani dengan baik, di antaranya karena regulasi yang tumpang tindih, program yang masih lemah, tidak adanya direktorat khusus yang bertugas untuk menangani pekerja sektor maritim, dan kualitas SDM awal kapal perikanan yang masih rendah.

Sebelumnya, Deputi Bidang Kedaulatan Maritim, Kementerian Kemaritiman, Dr. Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan, pembentukan tim ini bertujuan untuk mengkaji dan memberikan rekomendasi terkait peraturan dan kebijakan awak kapal perikanan serta menyusun standar operational procedure (SOP) terkait tugas tim nasional.

"Pembentukan tim pelindungan awak kapal perikanan dimaksudkan untuk melakukan harmonisasi regulasi terkait awak kapal perikanan," kata Purbaya.

Selain itu, ujar dia, upaya ini dilakukan untuk mengurangi praktik kerja paksa dan perdagangan orang yang pernah mencuat di Indonesia ketika kasus Benjina terbongkar pada 2015.

Keanggotaan tim ini terdiri dari Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, NGO, pelaku usaha perikanan, dan asosiasi pelaut perikanan.

Tim nasional ini akan fokus pada tiga area kerja, yaitu Penyelarasan Peraturan, Perundangan-undangan Nasional dan Internasional; Pengawasan Bersama; dan Edukasi, Rekrutmen, Penempatan, Pelaporan, dan Pelayanan (ERP3)

Sementara itu, menurut National Project Coordinator Safe Seas Project dari Plan Indonesia, Roosa Sibarani, mengatakan bahwa permasalahan ketenagakerjaan sektor perikanan tangkap mesti ditangani secara komprehensif dari hulu ke hilir.

"Sejauh ini penanganan tenaga kerja perikanan tangkap ditangani secara sektoral sehingga perlu ada upaya perbaikan sinkronisasi regulasi, pengawasan, dan edukasi untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi awak kapal perikanan," kata Roosa Sibarani.

Tim ini diharapkan akan bekerja guna memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah untuk penguatan tata kelola ketenagakerjaan sektor perikanan tangkap.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019