Jakarta (ANTARA) - Ingin meraup sukses di era disrupsi? Silakan lebih dulu mencermati kemenangan Liverpool 3-1 atas Arsenal dalam laga yang dihelat di stadion Anfield pada Sabtu pekan lalu (24/8).
Liverpool yang diasuh Juergen Klopp memberi pil pahit kekalahan perdana bagi Arsenal yang dibesut Unai Emery. Panggungnya, Liga Inggris musim kompetisi 2019-2020.
Kata-kata menusuk ulu hati. Kekalahan the Gunners - julukan bagi Arsenal - dari Liverpool lantas dibingkai dan dirangkum dalam satu kata mujarab: disfungsi!
Disfungsi sama dan sebangun dengan macet, tak berdaya alias loyo. Taktik yang diterapkan Emery tidak berjalan sesuai dengan skenario. Produk jualan pelatih asal Spanyol itu boleh dibilang jauh dari update atau lawas saat berduel di Anfield.
Baca juga: Salah dua gol, Liverpool mudah saja kalahkan Arsenal 3-1
Selain keok oleh kebutuhan jaman di era disrupsi, ternyata pasukan asuhan Unai Emery pulang dengan tangan hampa dari Anfield. Ini seakan mengulang kekalahan musim lalu saat Arsenal pulang ke London dengan hati kecut setelah kalah 1-5 dari Mohamed Salah dan kawan-kawan.
Tanda-tanda jaman
Disfungsi dari racikan taktik Emery boleh jadi berawal dari ketidakcermatan membaca tanda-tanda jaman. Arsenal kedodoran dalam melakukan aksi ofensif, ditambah kelemahan di lini pertahanan meski penguasaan bola rata-rata mencapai 64,7 persen.
Disfungsi taktik berawal dari ketidakcermatan dan ketidakjelian Emery dalam menyusun komposisi pemain. Pelatih Arsenal itu suam-suam kuku atau masih setengah hati mendemonstrasikan dan memeragakan skema ofensif saat menggedor pertahanan Liverpool.
Boleh saja, Arsenal mengulang-ulang tiga kata mujarab di era disrupsi: berubah, berubah, berubah. Hanya saja, the Gunners ditaklukkan oleh kutuk dari perjalanan sejarah: selalu kalah!
Virus selalu kalah akhirnya menelan mereka yang senantiasa keok oleh ziarah sejarah. Mereka yang kalah lebih suka dininabobokan oleh penggal-penggal derita masa lalu. Alhasil, mereka berjalan di tempat.
Kali terakhir Arsenal menang di Anfield pada musim 2012-2013. The Gunners menang dengan skor 2-0. Pada musim 2015-2016, mereka bermain imbang 3-3.
Selain hasil laga itu, Arsenal keok 1-5, 1-3, 0-4 dan dan 1-5 dari Liverpool dalam beberapa musim lalu. Rentetan kekalahan Arsenal itu menunjukkan bahwa kubu Emery "lupa akan sejarah".
Arsenal boleh dibilang setengah hati. Dengan menerapkan formasi diamond 4-4-2 yang memfokuskan diri di lini tengah, justru the Gunners dipandang kurang sepenuhnya mengaktifkan dan memberdayakan skema menyerang.
Lupa akan sejarah
Asyik dengan penguasaan bola dan lupa menyerang, merupakan virus "lupa akan sejarah" yang diidap Arsenal. Sementara itu, Liverpool rancak memeragakan gaya penampilan agresif. Dani Ceballos didaulat untuk mendukung pergerakan ofensif dari Sadio Mane.
Baca juga: Klopp kaget dengan permainan Arsenal
Di era disrupsi, Liverpool di bawah Klopp justru mampu bermetamorfosis dengan laju roda sejarah. Skema andalan pelatih asal Jerman itu yakni 4-3-3 yang bisa berubah menjadi 2-5-3 atau bahkan 2-3-5.
Tanpa tanggung-tanggung, jauh dari setengah hati, Klopp bahkan tidak enggan mendorong pemain yang menempati posisi sebagai ful-bek untuk mengdukung skema ofensif. Trio gelandang menjadi superior, yang sebelumnya diisi oleh Fabinho, Jordan Henderson dan Gini Wijnaldum.
Di sini, Klopp lantas menerjemahkan era disrupsi dengan "mengundang" masuk gaya Total Football. Mengapa? "Tim dengan (total football) mampu beradaptasi dengan gaya yang teramat fleksibel," kata Pep Lijnders dalam majalah sepak bola Belanda Voetbal International pada 2016.
Tampil fleksibel
Tidak serta merta Liverpool fasih menerapkan gaya total football. The Reds lebih dulu memiliki modal bermain dengan gaya penampilan yang fleksibel sebelum Klopp datang ke Anfield.
Era Klopp boleh jadi menyempurnakan apa yang dimiliki lebih dulu Liverpool. Pelatih berpaspor Jerman itu justru berhikmat dengan bermodal sejarah.
Baca juga: Klopp merasa semua orang ingin Liverpool terpeleset
Silakan menggeledah kejelian dan kecermatan Klopp meracik taktik dengan berjangkar kepada pakem sejarah. Ia kerapkali disebut-sebut sebagai pelatih yang menyandang predikat sebagai "ultra-modern", karena menyempurnakan dan memberi nilai tambah dari taktik lawas yang dimiliki sepak bola Inggris di awal abad 19, kemudian melakukan upaya pembaruan menghadapi abad 20.
Taktik berlabel ultra-modern diterapkan oleh Austria, Cekoslowakia dan Hungaria pada tahun 1920an. Asa serupa membawa Uruguay meraih gelar juara Olimpiade 1924 dan 1928 di cabang sepak bola, juga menyabet predikat sebagai Juara Dunia 1930.
Skema serupa diterapkan oleh pelatih Manchester City Pep Guardiola dengan menurunkan dua gelandang serang, yakni Kevin de Bruyne dan David Silva atau Bernardo Silva.
Ajax juga mengadosi sistem serupa saat melakoni laga Liga Champions musim lalu. Pasukan dari Liga Belanda itu mengaramkan harapan dari Real Madrid dan Juventus di ajang sepak bola elite Benua Biru itu.
Hanya saja, Ajax tidak serta merta menerapkan filosofi Total Football sebagaimana dirintis dalam sepak bola Belanda pada tahun 1970an. Total Football dikembangkan oleh Rinus Michels dan Johan Cruyff.
Lijnders menegaskan, "Itulah salah satu cara menafsirkan mazhab sepak bola Belanda yang telah terbukti menuai sukses. Hanya saja tidak banyak tim yang mampu meraih kemenangan di era sepak bola modern."
Lakukan penyesuaian
"Justru, sebagai contoh, Liverpool mampu melakukan penyesuaian dan pembaruan taktik yang bersumber dari total football dari masa lalu."
Elemen-elemen total football mampu membawa Liverpool meraih kemenangan saat melawan Arsenal. Peran Henderson dan Wijnaldum demikian penting, dengan memberi keleluasaan bergerak kepada Roberto Firmino.
Baca juga: Istanbul tempat spesial bagi Liverpool
Di sinilah persis, Klopp menerjemahkan kemudian menerapkan tuntutan era disrupsi dalam arena sepak bola. Berbekal keinginan terus berubah tanpa mengabaikan pakem sejarah, justru performa pasukan Liverpool makin moncer.
Klopp lantas "mengilustrasikan" era disrupsi dengan gemuruh musik rock and roll. Ia bahkan menyebut racikan taktiknya sebagai "heavy metal" dalam sepak bola.
Ia kemudian sedikit banyak menyindir gaya sepak bola yang diterapkan Arsene Wenger saat membesut Arsenal. "Ia (Wenger) mengandalkan penguasaan bola yang dominan, dengan mendaulat para pemain asuhannya memproduksis sebanyak mungkin operan. Gaya sepak bola itu persis orkestra yang mengalun lirih," katanya.
"Saya justru suka musik (heavy) metal, dan justru ingin mendengarkannya lebih keras dan lebih keras lagi," kata Klopp.
Baca juga: Jurgen Klopp ingin rehat setahun dari sepak bola
Baca juga: Arsenal tetap optimistis meski dikalahkan Liverpool
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019