beri label yang bagus, promosikan sehingga beras tidak lagi jadi hanya komoditas tapi produk bernilai
Jakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurthi menyebut pemintaan beras dengan jenis dan kualitas tertentu berubah di tengah kondisi masyarakat yang semakin sejahtera.
Dalam diskusi Food Security Forum bertajuk “Mengidentifikasi Perubahan yang Diperlukan dalam Rantai Distribusi Beras Indonesia” di Jakarta, Rabu, Bayu menyebut perubahan permintaan beras itu seharusnya disambut pemerintah.
“Perubahan permintaan sudah sangat nyata. Diferensiasi kualitas sudah nyata terjadi. Itu harus kita sambut karena itu cermin kenaikan pendapatan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera, ingin variasi konsumsi itu sah, dan bukanlah cermin kegagalan,” katanya.
Mantan Wakil Menteri Perdagangan itu menuturkan saat ini masalah perberasan disebut-sebut masih berkutat di sisi suplai. Padahal, menurut dia, perlu dipertanyakan masalah pemintaan beras yang jarang dipahami.
“Makanya Bulog kalau mau intervensi (pasar) dengan beras kualitas raskin untuk pengendalian harga, ya efektivitasnya semakin lemah karena yang diminta konsumen bukan itu,” katanya.
Oleh karena itu, Bayu mengatakan masalah rantai distribusi beras seharusnya bisa dilihat berdasarkan variasi permintaannya.
Ia menyebut perubahan permintaan beras misalnya terkait semakin tingginya kesadaran akan kesehatan. Ia mencontohkan terkait dengan makin tingginya kesadaran kesehatan, misalnya makin menjamurnya restoran Jepang di Tanah Air.
Dengan demikian, mantan Dirut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu menyebut beras menjadi konsekuensi derivatif sisi permintaan alih-alih lanjutan on farm.
“Karena masalah demand sangat berat, mari kita apresiasi dan rekognisi karya petani yang ingin membedakan dirinya dari yang lain. Caranya dengan membiarkan harganya beda-beda, hormati kemasannya, beri label yang bagus, promosikan sehingga beras tidak lagi jadi hanya komoditas tapi produk bernilai,” ungkapnya.
Perum Bulog, lanjut Bayu, juga bisa memanfaatkan peluang tersebut dengan memposisikan diri sebagai badan yang bisa menyediakan beras dengan persyaratan minimal.
“Misal kalau Bulog katakan punya 1,5 juta ton, jenisnya apa, tidak bisa lagi disamakan. Di situ Bulog bisa membuat bisnis,” kata Bayu Krisnamurthi.
Baca juga: Produksi bakal susut, 2.000 hektare sawah di Sumsel alami kekeringan
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019