Jakarta (ANTARA) - Agung Nugroho masih terus mewujudkan mimpi bersama sahabatnya Albert Lucius untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah dengan platform Kudo yang dirintis sejak mereka berkuliah di UC Berkeley, AS pada 2014.
"Kami berdua selalu berpikir bagaimana caranya meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan teknologi," kata Agung kepada ANTARA di kantor Kudo di Jakarta, Selasa.
Kudo, kependekan dari Kios Untuk Dagang Online, bermula dari observasi mereka terhadap warung dan pedagang tradisional yang belum tersentuh teknologi. Padahal, teknologi bisa membantu para pedagang konvensional untuk membantu produktivitas dan dapat menambah pendapatan mereka.
Agung memberi contoh bagaimana layanan panggilan moda transportasi (ride-hailing) mengubah pola kerja para sopir ojek pangkalan. Berkat teknologi digital, para pengemudi lebih produktif dan tidak banyak menghabiskan waktu menunggu di pangkalan.
Bagaimana dengan warung dan pedagang kecil?
Baca juga: Ignite The Nation bidik kemunculan unicorn baru
Transformasi warung
Agung, yang sejak 2018 menggantikan Albert sebagai CEO Kudo, menilai hal yang sama dapat terjadi pada warung dan pedagang kecil. Teknologi akan membantu produktivitas para pedagang dan mentransformasi model bisnis mereka.
"Tradisional sejak awal memang bertolak belakang dengan teknologi. Tapi, di situ lah seninya," kata Agung tentang perubahan model bisnis warung.
Melalui Kudo, toko kelontong yang sebelumnya menjual kebutuhan sehari-hari dapat juga berjualan pulsa, baju, kosmetik bahkan tiket pesawat berkat kemitraan mereka dengan berbagai platform e-commerce.
Kudo, yang menyasar daerah di luar kota besar di Indonesia, juga memfasilitasi masyarakat yang belum bisa atau enggan berbelanja di platform e-commerce untuk berbelanja produk di sejumlah toko daring (online) melalui toko kelontong.
Namun, kemampuan para pedagang tradisional berbanding terbalik dengan konsumen, apalagi di kota besar, yang sudah akrab dengan teknologi dan berbelanja online.
Kudo tidak bisa hanya membuat platform. Mereka perlu terjun langsung ke lapangan untuk mengajari para pedagang bagaimana memanfaatkan platform Kudo untuk menambah penghasilan.
Baca juga: Perusahaan rintisan luncurkan fitur baru dukung UMKM
Agung dan Albert merancang platform Kudo dengan tampilan sesederhana mungkin agar agen, sebutan untuk mitra, tidak kesulitan untuk menggunakannya.
"Kami punya tim di lapangan untuk mengedukasi mereka," kata Agung, yang juga alumnus Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2007 itu.
Kudo tidak segan berinvestasi untuk mengedukasi agen mereka. Agung mengatakan para pedagang tradisional itu perlu masuk ke ekosistem jika akan masuk ke industri digital Indonesia agar dapat memberikan dampak luas.
Dari sisi bisnis, Agung menilai pedagang tradisional akan terjamah teknologi dan masuk ke platform jual-beli online. Maka, strategi jemput bola yang dilakukan Kudo itu merupakan aksi yang cocok untuk menyikapi tren bisnis itu.
Hampir bangkrut
Hanya saja, misi Agung dan Albert untuk mengajari pedagang memakai platform digital tidak sesederhana fakta di lapangan. Agung harus bergulat dengan berbagai cara agar orang memahami sistemnya dan bersedia menggunakan Kudo.
Agung mengenang tidak ada satu pun pedagang tradisional yang tertarik untuk menggunakan Kudo pada masa-masa awal uji coba platform itu.
"Sudah launching, nggak ada yang mau pakai. Satu orang pun nggak ada yang mau pakai," kata Agung.
Kenyataan itu tidak lantas membuat Agung mundur. Semangatnya justru semakin menggebu untuk mencari tahu kebutuhan para pedagang agar Kudo bisa lebih dekat ke target pasar mereka.
Baca juga: Jakarta masuk jajaran 30 kota teratas dengan ekosistem rintisan global
Agung dan timnya memetakan apa saja yang diperlukan seorang pedagang tradisional. Para pedagang, lanjut Agung, sebenarnya membutuhkan tambahan pendapatan, peningkatan jumlah pelanggan, dan harga produk yang murah untuk menunjang bisnis mereka.
Keengganan para pedagang untuk memakai platform Kudo justru berbuah inovasi produk hingga platform itu berkembang seperti sekarang.
Kudo bahkan hampir bangkrut pada suatu waktu jelang penggalangan dana.
"Awal fund-raising, pernah beberapa hari lagi hampir bangkrut. Tapi karena ada usaha luar biasa dan invisible hands dari atas, semuanya kembali on track".
Usaha Agung dan tim Kudo pun berbuah manis. Platform itu sudah digunakan oleh 2,4 juta agen yang tersebar lebih dari 500 kota dan kabupaten di Indonesia. Kemasyhuran Kudo juga mampu memikat Grab yang pada 2017 mengakuisisi Kudo.
Agung mengakui banyak hal baru membawa dampak positif sejak mereka bergabung dengan Grab.
"Kami bisa tambah banyak kesempatan untuk agen, dengan Grab. Teknologi kami juga bisa masuk dan berkembang di Asia Tenggara," kata Agung tentang keuntungan penggabungan Kudo ke Grab.
Salah satu bentuk kemitraan Grab dengan Kudo, melansir situs resmi Kudo, adalah agen akan mendapat kemudahan jika mendaftar sebagai pengemudi Grab. Agen juga dapat mendaftarkan orang lain untuk bergabung sebagai pengemudi Grab dan akan mendapat sejumlah keuntungan tambahan, misalnya mendapat tambahan saldo di dompet digital Ovo.
Baca juga: Bekraf dorong "startup" usung ide bisnis lebih beragam
Untuk Indonesia
Startup atau perusahaan rintisan menjadi salah satu sorotan pemerintah dan sejalan dengan misi Indonesia untuk menjadi kekuatan terbesar ekonomi digital di Asia Tenggara pada 2020.
Anak-anak muda Tanah Air pun digadang-gadang menjadi generasi yang dapat membawa perubahan dan membangun Indonesia.
Agung, ketika ditanya pendapatnya mengenai membangun negeri, berpendapat membangun negeri adalah sesuatu hal yang terjadi alamiah baginya sebagai warga negara Indonesia.
"Membangun negeri adalah tugas saya sebagai orang Indonesia," kata Agung.
Apa yang telah Agung capai, termasuk membangun platfom Kudo, terjadi karena Indonesia, selain juga orang tua.
"Sekarang, apa yang saya lakukan adalah saya membangun negeri. Saya kasih balik apa yang sudah saya capai ke Indonesia. Seterusnya, seumur hidup saya," ujarnya.
Baca juga: Grab umumkan rencana akuisisi startup pembayaran Kudo
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019