Jakarta (ANTARA News) - "Miaaa.....!" begitu suatu kali Ali Sadikin meneriakkan nama anak, sahabat, sekaligus belahan jiwanya itu yang tidak berada di sampingnya. Saat itu, sudah hampir lima pekan mantan orang nomor satu di Jakarta ini dirawat di rumah sakit Gleneagles, Singapura, karena komplikasi kantong empedu dan ginjal. "Bahkan almarhum, kadang lebih percaya saya daripada dokter dan perawat di rumah sakit," kata Mia, yang telah hampir 40 tahun mengabdikan diri sebagai asisten pribadi Ali Sadikin dan istri pertamanya Nani Sadikin. Saking tidak percayanya kepada dokter dan tim medis yang merawatnya, Ali Sadikin pun meminta Mia untuk membuat program perawatan bagi dirinya.Pasangan Ali dan Nani Sadikin adalah Mia, dan Mia adalah Ali dan Nani Sadikin. Mia tak sekadar asisten pribadi, tangan kanan, tetapi juga anak bahkan belahan jiwa bagi kedua almarhum. Tak heran, jika kepergian Ali Sadikin menghadap Sang Pencipta begitu membuat gadis lajang itu sangat berduka. "Sedih, sangat sedih....," katanya saat berbincang dengan ANTARA usai prosesi pemakaman di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Rabu (21/5). Dengan balutan kaos lengan panjang abu-abu, berkerudung putih, Mia tak henti-henti mengenang Ali Sadikin kepada keluarga dan kerabat dekat yang menyampaikan belasungkawa kepadanya. Namun, kenangannya bersama Ali Sadikin seakan hanya untuk dirinya, keluarga dan kerabat dekat. Beberapa pelaku media yang mencoba mewawancarainya ditolak dengan halus. "Jangan sekarang yaa....nanti saja. Masih sedih," katanya, sambil sekali-sekali membetulkan letak kerudung putihnya. Mia dan Ali Sadikin beserta Nani Sadikin (alm), bagaikan belahan jiwa satu sama lain. "Ketika Ibu Nani sakit, saya juga menungguinya selama enam bulan di rumah sakit hingga detik-detik terakhir," kata Mia mengenang. Setelah Nani Sadikin meninggal dunia pada 1986, Mia benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Ali Sadikin yang lahir pada 7 Juli 1927. Berbagai hal, dari yang pribadi hingga kegiatan profesional selalu dipercayakan kepada Mia, yang sudah seperti anak sendiri bagi Bang Ali, begitu Ali Sadikin akrab dipanggil. Termasuk saat Ali Sadikin harus menjalani cangkok ginjal di Cina, dan terakhir di Singapura karena komplikasi pada 2008. "Seperti saat dirawat di Cina, saya berdoa dan bertekad harus bisa membawa pulang Bapak dalam kondisi sehat setelah dirawat di Singapura," tuturnya. Apalagi, kata Mia, Ali Sadikin memiliki keinginan untuk menghadap Sang Khaliq pada usia ke-90. Dua tahun terakhir pria yang mengakhiri karir militernya dengan pangkat letnan jenderal itu, bahkan ingin merayakan ulang tahunnya secara besar-besaran. "Bapak begitu ingin merayakan hari jadinya secara besar-besaran, dalam dua tahun terakhir, saya dan keluarga sampai heran kok bapak sangat ingin merayakan ultahnya," ungkap Mia, masih dengan tersedu sekali-sekali. Selama lima pekan menjalani perawatan di Singapura, berkali-kali Ayah dari lima putra itu menyatakan ingin pergi. "Ini hari apa Mia," tanyanya suatu saat. "Hari Selasa," jawab Mia pendek. Yang lalu di jawab lagi oleh kakek 12 cucu itu "Saya mau pergi, kamu mau ikut tidak," tanpa menyebut tujuan kepergiannya. Ali Sadikin yang memimpin Jakarta selama sebelas tahun itu pun tak lelah mengingatkan Mia untuk menjadi orang yang kuat. "You have to be strong," demikian pesan yang selalu diingat Mia. Mia pun tak letihnya menyemangati purnawirawan TNI Angkatan Laut itu dengan ucapan yang sama. "Kalau saya bilang begitu juga, almarhum agak sedikit marah bahkan sampai mencakar tangan saya," kata Mia sambil menunjukkan bekas cakaran di tangan kanannya yang sudah mulai memudar. Sampai suatu saat, Tuhan menunjukkan kuasanya. Pada usia ke-86 Ali Sadikin harus menghadap pada-Nya. Bukan pada angka 90, seperti keinginan tokoh Petisi 50 itu. Sosok pemberani, tegas dan konsisten itu meninggal dunia, di samping Mia. Penghormatan dari berbagai kalangan politisi, kawan serta lawan, budayawan, artis dan pengusaha pun mengalir ke rumah duka di Jalan Borobudur No 2 Menteng, Jakarta Pusat. Lebih banyak lagi orang berjubel di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Semua menundukkan kepala, menunjukkan simpati dan kekaguman pada sang tokoh serta tidak habisnya menyesali kepergian yang terlalu cepat dari sang idealis. Jakarta, telah melepas figur yang telah memolesnya menjadi lebih metropolis, Ali Sadikin. "Saya mungkin masih akan terngiang teriakan beliau, `Miaaaa......!` dan genggaman tangannya agar saya tidak lagi pergi dari pandangannya," kata Mia.(*)
Oleh Oleh Rini Utami
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008