Jakarta (ANTARA News) - Tidak ada yang senang dengan naiknya harga BBM. Orang kaya akan berkurang kenikmatannya, orang miskin akan makin sengsara.
Bagi orang miskin, kehidupan mereka akan makin sulit sudah sangat jelas. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum diumumkan saja, harga beras, gula, minyak, sudah melambung. Daya beli kaum dhuafa makin jeblok.
Jika sekarang kehidupan kaum miskin diibaratkan Senin-Kamis, maka dengan kenaikan harga BBM yang diikuti meroketnya harga kebutuhan pokok, maka kehidupan mereka menjadi Senin-Rabu. Malah mungkin ada yang Senin-Selasa. Media memberitakan adanya sejumlah kasus bunuh diri akibat krisis ekonomi.
Intinya, kenaikan harga BBM membuat orang miskin menjadi lebih sulit. Fakta ini disadari penuh oleh pemerintah. Itu sebabnya pemerintah memberikan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS). Dana yang dianggarkan untuk BLT 2008 sebesar Rp14 tiliun. Itu dibayarkan mulai Jumat, 23 Mei 2008. Masing-masing RTS mendapat Rp100.000 setiap bulan.
"BLT bukan untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Ini ibarat obat sakit kepala. Supaya orang miskin yang sakit kepala akibat kenaikan BBM bisa sembuh sakit kepalanya, lalu bisa kembali bekerja dan berusaha," kata Menteri Komunikasi dan Informatika, M. Nuh, pada sosialisasi kebijakan penyesuaian harga BBM dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada para humas dan PR di Jakarta, 21 Mei 2008.
Menurut Nuh, BLT diberikan agar orang miskin bisa "survive" daya belinya saat menghadapi dampak kenaikan harga BBM.
"BLT memang memberi ikan. Tapi pemerintah juga punya program penanggulangan kemiskinan lain di mana mereka diajari mancing. Bahkan nantinya dibantu punya pancing dan perahu sendiri," katanya.
Yang dimaksud dengan "mengajari mancing" atau "pemberian kail" adalah Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) berupa dana Rp3 miliar per tahun yang diberikan ke 3.999 kecamatan. Total dana yang dikucurkan Rp13,8 triliun.
Sedangkan yang dimaksud dengan "bantuan untuk punya pancing dan perahu sendiri" adalah penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 juta ke bawah kepada pelaku usaha mikro dan kecil seperti pedagang asongan atau pengrajin rumah tangga.
Tak ada subsidi
Pertanyaan berikutnya, mengapa orang kaya menentang kenaikan harga BBM? Itu karena subsidi BBM yang selama ini dinikmati, tidak ada lagi. Anggaran untuk gaya hidup dan belanja terpaksa harus dipangkas. Kebiasaan ngopi-ngopi di cafe, nonton bioskop, atau pelesiran menjadi terbatas.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, selama ini 70 persen subsidi BBM dari pemerintah dinikmati oleh 40 persen masyarakat kelas atas, terutama para pemilik kendaraan bermotor.
Setiap satu liter bensin premium yang dijual seharga Rp4500, pemerintah sesungguhnya mensubsidi sebesar Rp4500, karena harga pasar bensin Rp9000/liter.
"Jika satu mobil menghabiskan bensin 10 liter per hari, maka setiap pemilik kendaraan bermotor mendapat subsidi Rp45.000 per hari," kata Freddy Tulung, pejabat dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Itu berarti, setiap pemilik mobil yang mengkonsumsi 300 liter bensin per bulan, maka dia mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp1,2 juta per bulan.
Freddy mempertanyakan pihak-pihak yang menentang pemberian BLT.
"Memberi Rp100 ribu saja ke orang miskin, koq ribut. Padahal, kita terima Rp1,2 juta diam-diam saja," katanya mempertanyakan.
Menko Kesra Aburizal Bakrie juga menanggapi penolakan penyaluran BLT oleh sejumlah Kepala Daerah. Aburizal heran mendengar ada gubernur, bupati, dan walikota yang menolak bantuan untuk orang-orang miskin di daerahnya.
"Harusnya kepala daerah berterimakasih kepada presiden," katanya.
Penolakan terus berlangsung
Aksi penolakan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT terus berlangsung. Unjuk rasa terjadi di Ibukota dan sejumlah daerah. Badan Intelijen Negara (BIN) menengarai akhi-aksi unjuk rasa sudah tidak murni, melainkan ada yang menunggangi.
Kegaduhan yang terjadi di jalanan dan ramainya polemik di media massa tentu terkait dengan situasi tahun 2008 sebagai tahun politik dan tahun 2009 sebagai tahun Pemilu. Ini terbukti dari fakta adanya saling tuding antar elite politik di tengah kesulitan yang semakin nyata dihadapi rakyat.
Pejabat pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kenaikan harga BBM terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Kepentingan lebih besar dijadikan pijakan ketimbang popularitas dan karier politik.
"Keputusan yang populis belum tentu benar, sedangkan keputusan yang benar belum tentu populis," kata seorang pejabat.
Ia sedang berargumentasi bahwa keputusan menaikkan harga BBM adalah keputusan yang benar dan oleh karena itu pemerintah siap menerima resiko tidak populer. Artinya, kalkukasi resiko politik sudah dihitung betul.
Menteri Kominfo M. Nuh mengatakan pemimpin negara ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mempertaruhkan karir politiknya demi memikirkan masyarakat dengan menaikkan harga BBM.
"Kalau pemimpin kita memperhatikan karir politiknya, pasti dia tidak akan memilih menaikkan BBM, karena keputusan ini tidak disukai oleh semua orang," katanya.
Memang, keputusan menaikkan harga BBM tidak disukai oleh semua orang. Yang kaya akan berkurang kenikmatannya karena subsidi bensin dicabut. Yang miskin akan lebih sengsara (badly hurt, meminjam istilah Menkeu Sri Mulyani) karena harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung.
Meskipun seperti buah simalakama, keputusan harus diambil. (*)
Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Copyright © ANTARA 2008