Jakarta (ANTARA) - Komisioner KPK 2015-2019 Alexander Marwata mengaku pernah tidak diberikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik seorang saksi saat memintanya kepada penyidik.

"Bayangkan saat saya minta BAP satu saksi tidak diberi, loh saya yang menerbitkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) kok malah gak boleh dapat BAP? Ini harus diperbaiki," kata Alexander di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Selasa.

Dia menilai perlu buat sistem sehingga BAP bisa dibaca pimpinan. "Kalau saksi cukup ya sudah selesai penyidikannya, ini sudah diuji coba, jadi seluruh penyidikan, penyitaan bisa diakses pimpinan," katanya.

Alexander menyampaikannya dalam uji publik seleksi Capim KPK 2019-2023 yang berlangsung pada 27-29 Agustus 2019 dan diikuti 20 capim. Per hari, Pansel Capim KPK melakukan wawancara terhadap tujuh calon pimpinan (capim) yang dilakukan secara bergantian selama satu jam.

"Pimpinan KPK memang mengawasi dengan melakukan disposisi-disposisi, tapi saya akui para kepala satuan tugas sangat bebas. Saya setuju independensi tapi tidak boleh tidak diawasi, kita sudah perintahkan direktur dan deputi," kata Alexander.

Baca juga: Alexander Marwata dicecar soal TPPU oleh Pansel KPK
Baca juga: KPK harap pansel cermati rekam jejak capim saat uji publik

Alexander juga mengakui bahwa selama menjabat selama empat tahun di KPK belum sepenuhnya berhasil.

"Saya belum berhasil terkait koordinasi dan supervisi, ini selalu jadi pertanyaan anggota dewan (Komisi III). Terkait efektivitas penindakan KPK saya melihat masih perlu ditingkatkan, masih lamanya proses penyidikan dan penuntutan karena kontrolnya sangat kurang," ungkap Alexander.

"Memang tidak ada standar insubordinasi?" tanya anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo.

"Ada standard operating procedure tapi tidak detail, kita sudah bicarakan dengan direktur dan deputi agar SOP lebih detail," kata Alexander.

Selain itu, Alexander juga mengakui perlu membangun relasi lebih baik lagi dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

"Koordinasi perlu ada keterbukaan dan koordinasi, jangan hanya KPK memonitor tapi kita saling bisa melihat Sprindik yang diterbitkan," katanya.

"Persoalannya begini, saya sudah tanda tangan Sprindik untuk tersangka A padahal tersangka A empat tahun yang lalu itu adalah tersangka Kejaksaan. Kebetulan saya hakimnya dan perkara KPK waktunya sama dengan yang ditangani Kejaksaan, jadi A-nya sudah bebas, kalau ada koordinasi ya sudah kita bisa serahkan ke Kejaksaan sekalian," kata Alexander.

Baca juga: Pansel KPK diingatkan dari calon pemimpin tak berintegritas
Baca juga: Koalisi luncurkan petisi buat Presiden Jokowi soal capim KPK

Meski mengakui masih punya banyak kelemahan, namun Alexander menegaskan bahwa ia bukan calon titipan yang akan melemahkan KPK.

"Saya bukan titipan siapapun, saya pimpinan yang jarang berkomunikasi dengan pejabat DPR atau tokoh politik. Kegiatan saya setelah pulang dari KPK ya ke rumah, Sabtu Minggu makan sama anak istri atau kumpul sama teman SMA," katanya.

"Saya tidak ada ketemu dengan pejabat atau penyelenggara negara manapun," tegas Alexander.

Panelis dalam uji publik tersebut terdiri atas Yenti Garnasih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, Hamdi Moeloek dan Al Araf.

Pansel juga mengundang dua panelis, yaitu sosiolog hukum Meutia Ghani-Rochman dan pengacara Luhut Pangaribuan.

Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK pada Jumat (23/8) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment.

Mereka terdiri atas akademisi/dosen (3 orang), advokat (1 orang), pegawai BUMN (1), jaksa (3), pensiunan jaksa (1), hakim (1 orang), anggota Polri (4), auditor (1), komisioner/pegawai KPK (2), PNS (2 orang) dan penasihat menteri (1 orang).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019