Jakarta (ANTARA) - Calon pimpinan (capim) KPK yang juga komisoner 2015 sampai 2019 Alexander Marwata dicecar oleh Panitia Seleksi KPK RI soal tindak pidana pencucian uang.
"Pak Alex 'kan awalnya sebagai hakim, sekarang terbalik sebagai penegak hukum, saya mau tahu soal pemahaman. Kalau tidak paham teori, bilang saja jangan ngawur. Kita kenal perampasan aset in personam (merujuk pada orang tertentu), in rem (merujuk pada aset tertentu) tetapi praktik di KPK tidak pernah dilakukan in personam," kata anggota Pansel KPK Indriyanto Seno Adji di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa.
"Maaf apakah bisa menggunakan istilah biasa? Bukan bahasa asing?" tanya Alexander.
"Bapak paham tidak?" tanya Indriyanto yang juga pernah menjadi plt. pemimpin KPK pada tahun 2015
"Tidak," jawab Alex.
Baca juga: KPK harap pansel cermati rekam jejak capim saat uji publik
"Jadi, banyak kekeliruan perampasan aset di KPK, saya tidak mau dengar soal keberhasilan tetapi juga kekurangan KPK, in rem dan in personam keliru di sana, pemahaman Bapak terhadap perampasan aset secara umum apakah perampasan aset itu berlaku terhadap prinsip-prinsip retroaktif yang tidak terikat dengan tempus delicti (waktu kejadian) dari predicate crime?" tanya Indriyanto.
"Saya setuju perampasan aset yang diduga dari tindak pidana korupsi," jawab Alex.
"Bagaimana prinsip retroaktif terikat atau tidak dengan tempus delicti-nya misalnya predicate crime (tindak pidana awal) pada tahun 2010 s.d. 015 apakah dapat melakukan penyidikan pencucian uang dan penyitaan secara retroaktif?" tanya Indriyanto.
"Tentu harus dikaitkan dengan tempus delicti," jawab Alex.
Dialog tersebut terjadi dalam uji publik seleksi capim KPK 2019 s.d. 2023 pada tanggal 27 s.d. 29 Agustus 2019 dan diikuti 20 capim. Setiap hari, Pansel KPK melakukan wawancara terhadap tujuh orang capim yang dilakukan bergantian selama 1 jam.
Baca juga: Pansel KPK diingatkan dari calon pemimpin tak berintegritas
Selain soal TPPU, Alexander juga dicecar mengenai mengapa penindakan dan pencegahan korupsi di KPK tidak optimal.
"Karena belum seluruh jajaran membuat e-spdp (elektronik surat perintah dasar penindakan), ke depan akan dilaksanakan di KPK, kepolisian, dan kejaksaan tidak satu arah. Saat ini hanya satu arah hanya KPK yang bisa mengawasi KPK, mengawasi kejaksaan dan kepolsian tetapi mereka tidak bisa mengawasi kita," jawab Alexander.
"Permasalahan bagaimana menentukan tersangka? Soal TPPU, dalam keilmuan KPK sangat terlambat, uang tidak terlacak, tidak sampai 20 kasus TPPU dalam setahun?" tanya Ketua Pansel KPK Yenti Garnasih.
"Untuk perampasan aset koruptor kita kadang-kadang tidak menggunakan TPPU tetapi bisa merampas aset koruptor dengan pasal gratifikasi lalu menerapkan korupsi terhadap korporasi, rasa-rasanya saya dorong lagi di tingkat penututan maupun penyidikan untuk memproses korporasi," jawab Alexander.
Baca juga: KPK telah sampaikan data rekam jejak capim kepada pansel
Panelis dalam uji publik tersebut terdiri atas pansel, yaitu Yenti Garnasih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, Hamdi Moeloek, dan Al Araf. Pansel juga mengundang dua panelis, yaitu sosiolog hukum Meutia Ghani-Rochman dan pengacara Luhut Pangaribuan.
Panitia Seleksi Capim KPK pada hari Jumat (23/8) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment. Mereka terdiri atas akademisi/dosen (tiga orang), advokat (satu orang), pegawai BUMN (satu orang), jaksa (tiga orang), pensiunan jaksa (satu orang), hakim (satu orang), anggota Polri (empat orang), auditor (satu orang), komisioner/pegawai KPK (dua orang), PNS (dua orang), dan penasihat menteri (satu orang).
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019