Banda Aceh (ANTARA News) - Partai Rakyat Aceh (PRA) merasa prihatin atas penalti Pemerintahan Pusat terhadap Pemerintahan Aceh yang mengakibatkan hilangnya dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp11,6 miliar setiap bulan karena pembahasan RAPB Aceh 2008 belum selesai.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PRA, Thamren Ananda di Banda Aceh, Kamis, menyatakan kebijakan itu telah mengorbankan rakyat akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh Pemerintahan Aceh dan DPRA.
Penalti yang tertuang dalam surat keputusan Menteri Keuangan No.05/KM.07/2008, adalah puncak dari kelambanan responsive elite politik terhadap perkembangan dan persoalan rakyat Aceh, katanya.
Tarik ulur RAPBA, yang menyebabkan sampai hari ini belum disahkan semakin menggambarkan kemuraman situasi rakyat Aceh, apalagi di tengah-tengah krisis ekonomi dengan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai 20,8 persen, ujarnya.
Disebutkannya, dana sebesar Rp11,6 miliar, mestinya sudah dapat dipakai untuk memperbaiki sarana pendidikan di Aceh, dan cukup untuk membangun 12 unit sekolah dengan fasilitas lengkap.
Oleh karena itu, PRA menyatakan sangat prihatin karena tidak adanya antisipasi untuk mencegah hal-hal demikian.
Eksekutif, legislatif harus jelaskan penalti ini kepada rakyat
Akibat kelalaian ini rakyat Aceh yang kemudian harus menanggung akibatnya. Persoalan penalti ini juga harus dijelaskan secara terbuka di hadapan rakyat, baik oleh legislatif maupun eksekutif, katanya.
Ia menyatakan, di tengah-tengah rencana kenaikan harga BBM, rakyat Aceh harus kehilangan dana Rp11,6 miliar yang seharusnya menjadi milik mereka.
Dikatakannya, kenaikan harga minyak juga akan menyebabkan kenaikan biaya produksi di pabrik-pabrik atau perusahaan, dan akibatnya para pengusaha akan menyesuaikan upah buruh dengan biaya produksi.
Apabila upah buruh ini tidak mampu disesuaikan, maka yang terjadi adalah PHK massal dan semakin menambah jumlah pengangguran di Indonesia, juga di Aceh.
Kalaupun tidak dipakai untuk membangun sekolah, maka dana Rp11,6 miliar tersebut seharusnya cukup untuk membuka satu lapangan kerja milik pemerintah yang mampu menampung jumlah tenaga kerja, katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008