Cannes (ANTARA News) - Festival Film Cannes tahun ini boleh jadi menandai saat yang menentukan dalam kemunculan Asia Tenggara di pentas perfilman global. Sekalipun mengalami kekurangan modal, menghadapi maraknya pembajakan dan sensor yang ketat di beberapa negara kawasan itu, dua film dari Asia Tenggara ikut bersaing untuk meraih Palme d`Or, penghargaan utama di Festival Film Cannes. Didorong oleh revolusi digital, para sutradara dari negara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand telah mulai mampu menarik penonton untuk menyaksikan film-film mereka, sekalipun mereka bahkan harus berhadapan dengan Hollywood dan raksasa bisnis perfilman Asia, yakni China, Korea, India dan Jepang. Memang, industri film nasional Asia Tenggara telah mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun belakangan ini, dari sekedar "titik yang dapat dikenali" di peta perfilman dunia menjadi kekuatan yang kian memperoleh perhatian dari berbagai festival film penting internasional. "Setiap bulan dua film baru diproduksi di Indonesia," kata Gope T. Samtani dari Persatuan Perusahaan Film Indonesia, sambil menambahkan delapan dari 10 film ternyata mendapat sambutan baik dari penonton. Ini berarti ada enam film nasional baru yang ditayangkan pada waktu bersamaan di Indonesia ketimbang 3 atau 4 film Hollywood, kata Samtani kepada kantor berita Jerman, DPA, di Cannes. Semakin pede Film berbiaya murah besutan Brillante Mendoza, "Serbis" atau "Service" dalam bahasa Inggris, yang bertutur seputar sebuah keluarga yang hidup di dunia yang penuh ketidakpastian, merupakan film pertama Filipina yang masuk seleksi untuk bersaing merebut penghargaan utama di Cannes dalam seperempat abad terakhir. Di samping harus menghadapi sutradara kondang seperti Clint Eastwood, Steven Soderbergh, Walter Salles dan Wim Wenders, Mendoza juga harus bersaing keras dengan Eric Khoo dari Singapura dengan film andalannya "My Magic" untuk meraih Palme d`Or tahun ini. Khoo merupakan pembuat film Singapura pertama yang bersaing memperebutkan penghargaan utama itu di Cannes. "My Magic" adalah film tentang seorang pria yang kembali ke pekerjaan lamanya sebagai tukang sulap untuk membantunya melewati kehidupan nyata, yakni perkawinan yang berantakan dan kecanduan terhadap minuman keras, serta rasa cintanya kepada putranya yang baru berusia 10 tahun. Yang pasti, seperti yang tampak pada Festival Film Cannes tahun ini, para sutradara Asia Tenggara kini makin percaya diri dan memiliki pesan untuk disampaikan tentang keberagaman budaya kawasan mereka dan perubahan yang tengah berlangsung di masing-masing negara mereka. Selagi industri film China menghadapi berbagai kecaman akibat mahalnya biaya produksi, para pembuat film independen India sedang berusaha keras menerobos Hollywood dan bisnis film Korea sedang berjuang sekuat tenaga untuk muncul kembali setelah dihantam badai krisis, para sutradara Asia Tenggara telah memulai menciptakan cap mereka yang berbeda dalam pembuatan film. Sebagai akibat kian kuatnya mereka, industri film Indonesia yang semakin tumbuh kini sedang mengincar kawasan Asia, Eropa dan Timur Tengah sebagai pasar potensial film-filmnya. Biaya kian murah Di samping berhasil meningkatkan kualitas dan mendapat dorongan untuk memajukan perfilman nasional, industri film Indonesia tampaknya terpacu oleh keberhasilan para sutradara Indonesia dalam menampilkan berbagai cerita yang sejalan dengan selera penonton di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia itu. Film "Ayat-ayat Cinta" besutan Hanung Bramantyo, yang ditayangkan tahun ini, telah menjadi film yang paling banyak ditonton di Indonesia hingga sejauh ini. Film yang bertutur seputar seorang pemuda Muslim yang menghadapi dilema moral saat dia mengikuti kuliah di Mesir dan dihadapkan pada empat wanita yang berbeda. Dengan berbagai gedung bioskop bermunculan di kota-kota kecil di seluruh Indonesia, pesatnya peningkatan minat terhadap film-film Indonesia juga telah membantu mendorong penyebaran pemilikan televisi di Indonesia. "Hampir tak ada tempat lagi di televisi bagi film-film berbahasa Inggris," kata Gope T. Samtani. Kemajuan teknologi digital tampaknya telah membantu menghemat ongkos produksi film di Indonesia dengan sepertiganya. (*)
Copyright © ANTARA 2008