Brisbane (ANTARA News) - Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Australia-Selandia Baru memfasilitasi dialog tentang isu Ahmadiyah di kampus Universitas Nasional Australia (ANU) Canberra, Jumat (23/5) dengan menghadirkan pembicara dari kalangan ulama, akademisi, politisi dan ahmadi (pengikut Ahmadiyah).Penjelasan pers yang diterima ANTARA dari Katib Syuriah PCI NU Australia-Selandia Baru, Suseno Hadi, di Brisbane, Rabu, menyebutkan, dialog itu dimaksudkan untuk menguak keterkaitan kasus Ahmadiyah dengan masa depan kepercayaan dan konstitusi di Indonesia setelah 100 Tahun Kebangkitan Nasional.Dalam diskusi bertema "Our Mosque is Burned Down": Constitution, Faith and One Hundred Years National Awakening" (Masjid Kami Dibakar: Konstitusi, Kepercayaan dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional" itu, dihadirkan enam orang pembicara utama.Ke-enam orang pembicara itu adalah Kiai Syarif Usman Yahya (ulama senior dari Cirebon, Jawa Barat), Dr.Nadirsyah Hossen (dosen hukum Universitas Wollongong yang juga Syuriah PCI NU Australia-Selandia Baru), serta Bagus, Musa dan Helen Musa (Ahmadi). Seterusnya, anggota DPR-RI dari Fraksi PPP, Lena Mariana Mukti dan pemerhati masalah Indonesia, Anthony Jones, yang akan memberikan refleksi tentang kepercayaan dan toleransi di Indonesia setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional. Dalam dialog interaktif yang berlangsung di ruang "Extension Building" ANU dari pukul 14 hingga 16.00 waktu Canberra itu, Kiai Syarif Usman Yahya akan berbicara melalui fasilitas "Yahoo Messenger". Persoalan "Ahmadiyah" kembali mencuat ke ranah publik yang menyita perhatian khalayak ramai di Tanah Air maupun di Australia setelah Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kejaksaan Agung (Bakor Pakem Kejagung) merekomendasikan aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat 16 April lalu. Isu "Ahmadiyah" semakin menghangat setelah sekelompok anggota masyarakat di Desa Parakan Salak Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 28 April lalu, merusak masjid milik pengikut Ahmadiyah, dan enam orang Ahmadi asal Nusa Tenggara Barat meminta suaka politik ke pemerintah Australia melalui kantor konsulatnya di Bali. Ahmadiyah sudah sejak lama menjadi persoalan yang tak kunjung selesai di Indonesia. Jauh sebelum aksi kekerasan di Desa Parakan Salak Kabupaten Sukabumi itu terjadi, kasus-kasus kekerasan terhadap para Ahmadi telah ada sejak 1980-an. Beberapa di antara kasus-kasus kekerasan itu adalah kasus kekerasan di Cianjur, Jawa Barat (Maret 1984), Garut, Jawa Barat (1988), Kerinci, Jambi (1989), dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (2002), di Kabupaten Kuningan (Juli 2005), dan di Kabupaten Cianjur lagi (September 2005) dan kasus Parung, Bogor pada 9 dan 15 Juli 2005 di kampus Mubarok yang sekaligus menjadi kantor Jemaat Ahmadiyah Islam (JAI). Aliran yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad asal Pakistan ini dinilai bermasalah karena dianggap kalangan arus utama Islam di dunia mengajarkan teologi menyimpang dari ajaran pokok atau akidah Islam khususnya menyangkut status kenabian yang dilekatkan sang pendirinya. Dalam ajaran Islam yang dianut secara umum, Nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir dan tidak ada rasul lain dalam Islam setelah beliau.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008