Oleh Chaidar AbdullahJakarta (ANTARA News) - Konflik dan bentrokan, akibat kegagalan pembicaraan pemerintah-pemberontak kembali mengancam Burundi, negara kecil di Afrika yang berusaha keluar dari puing-puing pertempuran lebih dari satu dasawarsa. Sesaat setelah kedua pihak tak berhasil mencapai kesepakatan dalam perundingan pada akhir pekan, Angkatan Darat negeri tersebut dilaporkan menyerang pemberontak Tentara Pembebasan Nasional (FNL) di sebelah selatan ibukota negeri itu, Bujumbura. Akibatnya usaha menghidupkan kembali persetujuan gencatan senjata 2006 mentah kembali. Satu serangan FNL bulan April terhadap ibukota dan di bagian barat negeri tersebut sudah menewaskan lebih dari 120 orang, demikian laporan kantor berita AFP, Rabu (21/5). Lebih dari 15 tahun lalu, negara itu, menghadapi krisis yang juga sangat besar. Burundi memang telah terpecah sejak merdeka, ditandai dengan meruncingnya ketegangan etnik Tutsi dan Hutu. Saat itu, masyarakat internasional kelihatannya memiliki kesamaan pendapat bahwa penyelesaian kerusuhan di negeri itu tak perlu melibatkan militer dari luar negeri. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pun tak menyetujui campur-tangan PBB dalam kerusuhan di Burundi. Ketika itu di Burundi terjadi perbedaan pendapat. Presiden saat itu Sylvester Ntibantunganya mendukung campur-tangan asing, sedang perdana menteri Antoine Nduwayo menentangnya. Presiden Burundi saat itu bermaksud memberitahu Perancis bahwa pembunuhan 150 orang Hutu di Bujumbura adalah awal pembantaian besar-besaran di negerinya, sedangkan partai Nduwayo, Uni bagi Kemajuan Nasional (Uprona) --yang didominasi suku Tutsi, telah mendesak mitranya dalam pemerintahan agar mengumumkan keadaan darurat. Akibat silang pendapat dalam tubuhnya, pemerintah Burundi seringkali kelihatan tak memiliki arah dan tak mampu menemukan cara guna menghentikan kerusuhan. Sekarang, seorang wakil dari penengah Afrika Selatan, Kingsley Mamabolo, pada Rabu (21/5) mengakui pembicaraan perdamaian "berada dalam posisi sangat sulit". "Kami tak dapat melanjutkan pembicaraan perdamaian ketika rakyat berperang," kata utusan tersebut sebagaimana dikutip. Pemberontak terus mengupayakan persetujuan pembagian kekuasaan yang akan memberi mereka kesempatan lebih besar dalam urusan politik dan militer, sementara pemerintah Presiden Pierre Nkurunziza dari suku Hutu dan CNDD-FDD sejauh ini telah menolak pembicaraan mengenai masalah penting itu.Seperti tetangganya Rwanda, Burundi telah dirongrong oleh silang pendapat antara suku Hutu dan Tutsi. Perang saudara di negara di Afrika tengah itu meletus pada 1993. Burundi, Negara tanpa laut di wilayah Danau Besar di tengah benua Afrika, berbatasan dengan Rwanda di utara, Tanzania di selatan dan timur, serta Republik Demokratik Kongo di barat. Meskipun tak berbatasan dengan laut, banyak perbatasan baratnya berdampingan dengan Danau Tanganyika. Nama negara miskin tersebut berasa dari bahasa Bantu, Kirundi. Meskipun berukuran kecil masalah yang dihadapinya sangat besar, yaitu mengupayakan penyelesaian klaim supremasi dari suku minoritas Tutsi, yang berkuasa, dengan tuntutan keterlibatan dalam politik dari suku mayoritas Hutu. Burundi berbentuk kerajaan merdeka sejak Abad Ke-16, tapi asal-mula kerajaan Burundi sendiri terselubung mitos. Menurut legenda, Ntare Rushatsi, pendiri dinasti pertama, datang dari Rwanda pada Abad Ke-17, sementara sumber lain menyatakan Ntrare berasa dari Buha di bagian tenggara dan mendirikan kerajaan di wilayah Nkoma. Hingga kejatuhan kerajaan pada 1966, Ntare menjadi salah satu petunjuk terakhir dengan sejarah Burundi pada masa lalu. Pada 1903, Burundi menjadi jajahan Jerman dan diserahkan kepada Belgia pada Perang Dunia II. Burundi belakangan menjadi bagian dari mandate Liga Bangsa-Bangsa, Belgia, Ruanda-Urundi pada 1923, dan kemudian menjadi Wilayah Kepercayaan PBB di bahwa wewenang Belgia setelah Perang Dunia II. Sejak merdeka pada 1962 hingga pemilihan umum 1993, Burundi dikuasai serangkaian diktator militer, seluruhnya dari kelompok minoritas Tutsi. Masa tersebut dipenuhi kerusuhan etnik, termasuk peristiwa-peristiwa besar pada 1964, 1972 dan akhir 1980-an. Pada tahun 1990-an, presiden pertama suku Hutu dibunuh selama satu kudeta gagal yang dilakukan oleh perwira militer dari suku Tutsi. Konflik tersebut berkecamuk lebih dari satu dasawarsa dan menewaskan 300.000 orang, dan kini negara itu menghadapi kebuntuan ekonomi dan kelumpuhan parlemen. Persetujuan gencatan senjata ditandatangani Desember 2002 oleh pemerintah dan gerakan pemberontak utama Hutu, Pasukan Pembela Demokrasi (FDD), yang akhirnya memasuki pemerintahan pada November 2003. Namun, saat itu FNL, juga kelompok Hutu, menolak untuk memasuki pembicaraan dengan pemerintah. Pemerintah sekarang didominasi oleh suku Hutu, sekalipun dibagi antara kedua kelompok etnik. Persetujuan gencatan senjata yang dicapai pada penghujung 2006 telah gagal, meskipun organisasi yang bertugas mengawasinya secara resmi melancarkan upayanya pada upacara Senin (19/5). Juru bicara pemerintah, Hafsa Mossi, pertengahan Mei 2008 mengatakan, sayap politik gerakan pemberontak, Palipehutu-FNL, secara resmi harus mengumumkan bahwa "gerakan itu akan mengakhiri permusuhan, mengumpulkan pasukannya di daeran yang diketahui dan menyampaikan komitmen pada proses perdamaian saat ini". (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008