Jakarta, (ANTARA News) - Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sering membuat kebijakan kontroversial namun hal itu demi kepentingan umum dan negara. "Bang Ali banyak melakukan langkah-langkah kontroversi, tetapi kontroversinya konsisten demi memperjuangkan kepentingan orang banyak sehingga banyak yang menerima idenya," kata rekan almarhum, AM Fatwa saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu pagi.Fatwa adalah rekan Ali Sadikin di kelompok "Petisi 50" yang pada masa Orde Baru mengkritik Soeharto.Saat dihubungi, AM Fatwa, sedang dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta untuk menjemput jenazah almarhum yang dijadwalkan tiba dari Singapura pukul 07.40 WIB. Serah terima akan dilakukan oleh Komandan Korps Marinir Mayjen Djunaedi Djahri. Selanjutnya, akan dibawa ke rumah duka di Jalan Borobudur No. 1 Jakarta Pusat. "Setelah Sholat Dhuhur, selanjutnya akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan," katanya. Bang Ali wafat di Singapura, Selasa (20/5) sekitar pukul 18.30 waktu setempat, sebagaimana disampaikan Sekretaris Ali Sadikin, Mia. Menurut AM Fatwa, salah satu ide kontroversi Bang Ali ketika dia menjabat Gubernur DKI Jakarta 1966 hingga 1977 adalah ide legalisasi dan lokalisasi perjudian di Ibukota. "Alasannya, jika tidak dilokalisasi, pendapatan judi hanya jatuh kepada para oknum aparat dan beking judi, sementara jika dilokalisasi dan diatur maka pendapatannya ke negara atau pemerintah daerah," katanya. Meski ide tersebut tidak jadi dilakukan, kata AM Fatwa, beberapa pihak termasuk sejumlah tokoh-tokoh agama di Indonesia memberikan persetujuan termasuk tokoh M. Roem."Pada kasus pembongkaran kuburan orang Islam di Tanah Abang, saat itu, dia melontarkan keinginannya agar demi efisensi di Jakarta, orang bisa dikubur dalam posisi berdiri. Banyak yang menentang soal ini, tetapi akhirnya ada pembenaran dari ulama besar saat itu, bahwa dalam Islam tidak mengenal `mengabadikan` kuburan. Praktik di Madinah, justru tidak seperti itu," katanya. Akhirnya, kata Fatwa, di atas kuburan itu saat ini telah berdiri fasilitas umum dan sebagainya. Selain itu, ketika Bang Ali merencanakan penggusuran seperti pelebaran jalan di Jalan Gunung Sahari dia menghadapi penolakan dari Mabes TNI AL."Dia berani memotong bangunan Mabes TNI AL (sekarang Koarmabar) dengan ungkapan kontroversi Bang Ali waktu itu, di Jakarta itu boleh banyak jenderal, tetapi gubernurnya cuma satu," katanya. Bagi AM FAtwa, sosok Bang Ali adalah atasan yang konsisten dan setia kepada tugas dan bawahan. "Di republik ini, hampir tidak ada tokoh yang setia kepada bawahan seperti yang dicontohkan Bang Ali. Semua kesetiaan waktu itu dari bawah ke atas, Asal Bapak Senang (ABS).Bang Ali justru sebaliknya," kata Fatwa. Bang Ali juga setiap pekan menjenguk AM Fatwa yang dipenjara pada masa Orde Baru."Keluarga saya juga dibantu, baik secara ekonomi maupun hukum. Beliau setia sekali kepada bawahan," kata Fatwa mengenang. Ali Sadikin mengakhiri karirnya militernya dengan pangkat Letnan Jenderal Marinir. Bang Ali, lahir di Sumedang Jawa Barat 7 Juli 1927. Ia menjabat Gubernur DKI Jakarta dari tahun 1966 hingga 1977. Ia menjadi Gubernur DKI Jakarta ke-7 menggantikan Soemarmo. Bang Ali kemudian diganti oleh Tjokropranolo.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008