Jakarta (ANTARA News) - "Tidak perlu waktu lama untuk mengimbangi pemain-pemain China asalkan mereka mau. Sektor ganda Indonesia bahkan pernah mengalahkan mereka. Untuk tunggal, perayaan Kebangkitan Nasional ini adalah masa kebangkitan putri-putri Indonesia." Kalimat tersebut diucapkan ratu bulutangkis nasional, Susy Susanti tidak lama setelah tim putri Indonesia gagal menumbangkan dominasi China dalam final Piala Uber di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu lalu. Meski gagal meraih kembali trofi yang berada di tangan negeri Tirai Bambu, sejak direbut dari Indonesia pada 1998, keberhasilan Maria Kristin dan kawan-kawan mencapai final Piala Uber itu sangat lah di luar dugaan. Ucapan Susy tentu tidak sekedar kalimat untuk menghibur. Keterlibatannya sebagai manajer tim Piala Uber mendampingi para pemain sejak persiapan hingga berakhir di final, membuatnya sangat memahami mereka. "Putri-putri Indonesia mampu berjuang dengan baik...mereka telah menunjukkan bahwa mereka mampu berprestasi dan meraih kemenangan demi kemenangan," demikian ucapan Susy, saat tim Uber Indonesia berhasil menaklukkan Jerman di semifinal dan melampaui target yang ditetapkan PB PBSI. Tentu saja keberhasilan tersebut tidak diraih secara instan. Bulutangkis putri Indonesia sudah sejak lama terpuruk. Dalam turnamen perorangan internasional, catatan Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menunjukkan bahwa para pemain tunggal terakhir kali meraih gelar pada 2006, saat Maria Kristin menang di Singapura dan Surabaya Satellite, Adriyanti Firdasari di Belanda Terbuka dan Pia Zebadiah merebut gelar Jakarta Satellite. Hasil terbaik yang mereka raih terakhir kali barangkali adalah saat memenangi medali SEA Games 2007, baik pada nomor perorangan maupun beregu. Sektor ganda putri mencatat prestasi yang lebih baik, setelah pasangan Vita Marissa/Liliyana Natsir meraih gelar China Masters, itu pun sudah setahun lalu. Sedang gelar juara yang terakhir diraih pasangan Jo Novita/Greysia Polii adalah Filipina Terbuka 2006, sementara ganda utama lainnya Rani Mundiasti/Endang Nursugianti terakhir menjuarai Belanda Terbuka 2006. Angin perubahan Perubahan datang saat juara Olimpiade Barcelona, Susy Susanti ditunjuk menjadi manajer tim Piala Uber. Tim yang sejak menjadi runner-up pada 1998, prestasinya semakin menurun hingga pada titik terendah saat tidak lolos kualifikasi pada 2006, sejak awal diragukan dapat mencapai target semifinal. Namun, dengan semangat pantang menyerah dan berjuang habis-habisan serta tak gentar menghadapi lawan yang ditularkan peraih penghargaan "Hall of Fame" 2004 dari Federasi Bulutangkis Internasional (sekarang BWF) itu, tim putri Indonesia tampil gemilang. Mengawali laga dengan menundukkan unggulan kedua Jepang dengan skor meyakinkan 4-1, tim Indonesia dengan mudah menyapu bersih tim Belanda -- yang nyaris mengalahkan China di perempatfinal -- dengan kemenangan mutlak 5-0 untuk lolos ke perempatfinal dengan memuncaki Grup Z. Pada perempatfinal, tim asuhan pelatih Marleve Mainaky, Aryono dan Richard Mainaky itu menggasak Hongkong 3-0 dan kemudian meraih kemenangan 3-1 atas Jerman di semifinal sebelum menyerah 0-3 pada juara bertahan China di laga puncak. "Saya bangga dengan mereka, semangat juang mereka sangat luar biasa," ujar Susy yang selama mendampingi para pemain menyadari bahwa secara teknis putri-putri Cipayung tidak kalah dari pemain-pemain dunia lainnya. "Hanya mental, cara pandang dan semangat juang mereka yang masih harus dibenahi. Saya selalu tekankan pada mereka agar menghadapi siapapun lawan dengan berani, jangan memikirkan hasil, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan," jelas Susy. Motivasi yang ditanamkan Susy terbukti jitu, para pemain mampu mengalahkan lawan-lawan dengan peringkat yang jauh lebih tinggi, seperti saat Maria (peringkat 30 dunia) mengalahkan Yip Pui Yin (12) dari Hong Kong, dan Firdasari (35) menundukan Julianne Schenk (13) dari Jerman. Tunggal putri berperingkat 78 dunia, Pia Zebadiah juga mengisi peringatan 40 hari meninggalnya sang ayah, Djumharbey Anwar, dengan kemenangan atas pemain Jepang Kaori Mori (22). Ia menyumbang angka dalam tiga pertandingan yang ia mainkan, begitu pula ganda kedua Jo Novita/Greysia Polii. Pasangan Vita Marissa/Liliyana Natsir pun hanya mengalami kekalahan saat melawan China. "Penampilan mereka sudah maksimal. Sekarang tinggal bagaimana memperbaiki kekurangan dan meningkatkan apa yang sudah mereka miliki," demikian Susy, yang meski mendapat limpahan pujian atas keberhasilan tersebut, tetap menyatakan tidak bersedia menjadi pelatih. "Kekurangan mereka, terutama pemain tunggal, ada pada kecepatan, kekuatan, dan ketangkasan," kata Marleve Mainaky yang menangani tunggal putri sejak ditinggalkan Hendrawan usai Piala Sudirman tahun lalu. "Saya sudah tahu dan sudah menyusun rencana apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki itu semua," lanjut Marleve. Mudah-mudahan hasil gemilang dalam Piala Uber 2008 yang menumbuhkan percaya diri dalam diri pemain ditambah tekad pelatih untuk memperbaiki kekurangan, dapat benar-benar membangkitkan bulutangkis putri Indonesia yang sudah sekian lama mati suri. (*)
Pewarta: Oleh Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2008