Jakarta (ANTARA) - Sekawanan sapi terlihat bergerombol di atas gundukan sampah yang menyerupai bukit di tempat penampungan sampah yang ada di Pulau Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

"Mereka makan organik yang ada di situ, tapi bisa jadi plastik juga," ujar Pendiri Gili ECO Trust, Dhelpine Robbe, di Gili Trawangan, pekan lalu.

Pemandangan seperti itu menjadi hal lumrah di kawasan itu, sapi-sapi bebas berkeliaran di lapangan kosong. Usai puas mencari makan di atas gundukan sampah seluas 80 are itu, kawanan sapi itu berlari menuju lapangan rumput yang berada di samping tempat penampungan sampah.

Gili Trawangan sejak beberapa tahun terakhir menjadi alternatif wisata selain Bali. Biasanya, turis yang sudah bosan liburan di Bali, pindah ke Gili Trawangan. Tak heran banyak kapal cepat yang langsung menghubungkan kedua daerah wisata itu.

Menjadi tujuan wisata, Gili Trawangan kini menghadapi persoalan serius, yakni banyaknya sampah yang diproduksi para wisatawan, mulai dari plastik sekali pakai, plastik botol minuman, hingga botol minuman keras.

Delphine menyebut setidaknya sampah yang diproduksi di kawasan itu mencapai delapan ton seharinya. Bahkan jika lagi musim ramai pengunjung mencapai 15 ton dalam sehari.

"Sehabis gempa, turis mulai berdatangan ke sini pada April 2019. Itu sampahnya sekitar delapan ton sehari, tapi kalau musim liburan seperti saat ini mencapai 15 ton dalam sehari," kata perempuan berkewarganegaraan Prancis itu merujuk gempa Lombok yang terjadi pada 29 Juli 2018.

Gili Eco Trust merupakan organisasi yang didirikan Delphine yang fokus terhadap lingkungan yang ada di pulau kecil itu. Semua berawal dari keprihatinannya dengan lingkungan di daerah itu. Saat menyelam di dasar laut, ia menemukan banyaknya sampah di dasar laut.

Sejak itu, ia mengajak para wisatawan dan penduduk setempat untuk menjaga lingkungan. Dimulai dari memisahkan sampah organik dan anorganik. Bahkan, ia membantu sejumlah hotel dan restoran agar ramah terhadap lingkungan.

Gili Eco Trust membantu dalam menangani permasalahan sampah di kawasan itu. Dalam waktu dekat, pihaknya akan membentuk Eco Rangers yang bertujuan memberikan edukasi pada masyarakat tentang bahaya plastik dan bagaimana pemilahannya.

"Sampah plastik dikubur di tanah tidak bisa terurai, dibuang ke laut membahayakan ekosistem laut dan kalau dibakar akan menjadi polusi udara, tidak bagus untuk pernapasan," ujar dia.

Satu-satunya cara yakni dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Dengan tidak lagi menggunakan kantong plastik atau kresek, sedotan, peralatan makan dari plastik, dan juga botol minuman plastik.

Dengan adanya Eco Rangers, kata dia, dapat mengatasi permasalahan sampah melalui proses daur ulang. Sampah organik bisa langsung diproses menjadi pupuk, sedangkan sampah anorganik dipisah sesuai kategori.

"Kami menargetkan pada 2025 sudah tidak ada lagi sampah atau zero waste. Ini harus dilakukan, karena Gili Trawangan merupakan daerah pariwisata yang mana sampah adalah persoalan utamanya," ujar dia.


Proses daur ulang

Gili Eco Trust juga melakukan pengolahan sampah di kawasan itu. Sampah-sampah dipisah sesuai kategorinya. Setelah itu dilakukan proses daur ulang.

Contoh botol beling bekas minuman keras, sebagian besar tidak diambil lagi oleh produsennya. Delphine menyebut hanya bir Bintang yang mengambil kembali botolnya, lainnya tidak.

Botol-botol kaca tersebut dimasukkan ke mesin pencacah, setelah hancur menjadi bahan material batako yang dijual Rp3.500 per batangnya. Setelah gempa, permintaan batako kaca tersebut meningkat.

"Batako ini terdiri dari campuran pecahan kaca, semen dan juga pasir."

Botol-botol minuman keras itu juga digunakan dalam pembangunan rumah. Delphine sendiri menggunakannya menggantikan loster (lubang cahaya) di rumahnya. Ia juga menggunakan botol itu untuk lampu gantung. Sebagian lagi, diproses menjadi gelas kaca yang dibagikan kepada pengunjung yang datang ke kantor Gili Eco Trust.

Untuk botol plastik dan kardus kemudian diserahkan pada bank sampah. Dana tersebut digunakan untuk menggaji 30 petugas kebersihan. Kemudian pihaknya juga mengelola uang kebersihan di wilayah itu. Untuk rumah tangga, biayanya Rp100.000 ribu per bulan. Untuk yang sudah dipilah lebih murah lagi yakni Rp70.000 per bulan. Sementara untuk hotel dan restoran bervariasi mulai Rp100.000 hingga Rp3.000.000 per bulan tergantung banyaknya kamar.

Delphine menjelaskan sebelum terjadinya gempa Lombok pada 2018, masalah sampah dikelola Pemda yang mana Gili Eco Trust juga terlibat. Namun sekarang, dikelola oleh Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) dengan menggandeng Gili Eco Trust.

Pemerintah melalui Kemenko Kemaritiman juga memberikan bantuan pembangunan gedung pengolahan sampah. Sayangnya, pembangunan gudang tersebut terbengkalai karena gempa. Kontraktor yang menanganinya kembali ke Pulau Jawa.

"Sebentar lagi musim hujan, kalau tidak dibangun maka sampah itu basah dan sulit untuk memilahnya. Kami harap pemerintah segera bantu carikan solusi," harap Delphine yang merupakan insinyur biologi tersebut.

Pendiri komunitas penyelam Divers Clean Action (DCA) Swietenia Puspa Lestari mengatakan sampah plastik mendominasi sampah yang ada di kawasan perairan. Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan pihaknya di perairan Kepulauan Seribu.

"Berdasarkan riset kami, persentasenya mencapai 63 persen. Plastik sekali pakai, termasuk kantong plastik, botol kemasan, paling banyak terdapat di kawasan itu," kata perempuan yang disapa Tenia itu.

Sementara, untuk kawasan puntung rokok merupakan sampah yang paling banyak ditemui. Puntung rokok merupakan sampah anorganik dan termasuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan beracun. Tenia berharap kesadaran menjaga lingkungan tersebut dapat terus tumbuh dan produksi sampah plastik bisa dikurangi.

Pendiri Gili Eco Trust Delphine Robbe Dan General Marketing KFC Indonesia Hendra Yuniarto, menunjukkan gelas dari limbah botol bekas di Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu (Indriani)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019