Posisi ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman pansel akan konteks dan mandat KPK sebagai penegak hukum

Jakarta (ANTARA) - Koalisi kawal calon pimpinan KPK 2019-2023 yang terdiri dari tujuh kelompok masyarakat sipil menilai panitia seleksi calon pimpinan lembaga antirasuah itu tidak mendengarkan suara masyarakat.

"Masa depan pemberantasan korupsi terancam. Kondisi ini disebabkan proses seleksi pimpinan KPK yang menyisakan berbagai persoalan serius mulai dari tindakan atau pernyataan pansel, proses seleksi, hingga calon-calon yang tersisa sampai sejauh ini," kata perwakilan koalisi, Kurnia Ramadhana, dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Pada hari ini pansel capim KPK 2019-2023 mengumumkan 20 orang nama capim yang lolos seleksi profile assessment.

Mereka terdiri atas akademisi/dosen (3 orang), advokat (1 orang), pegawai BUMN (1 orang), jaksa (3 orang), pensiunan jaksa (1 orang), hakim (1 orang), anggota Polri (4 orang), auditor (1 orang), komisioner/pegawai KPK (2 orang), PNS (2 orang) dan penasihat menteri (1 orang).

Koalisi setidaknya mencatat sejumlah hal yang dilakukan pansel selama proses pemilihan calon pimpinan.

"Pertama, pansel seakan tidak menghiraukan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Respon yang diberikan oleh pansel acapkali negatif dan defensif padahal penyikapan atas langkah-langkah pansel dalam penyaringan pimpinan KPK bukan hanya oleh kalangan masyarakat sipil antikorupsi, namun sudah mencakup perwakilan organisasi agama hingga mantan pimpinan KPK," tambah Kurnia.

Hal lain, misalnya, pada 25 Juni 2019 pansel mengembuskan isu radikalisme pada proses pemilihan Pimpinan KPK. Padahal menurut koalis, hal itu sama sekali tidak relevan karena seharusnya yang disuarakan oleh Pansel adalah aspek integritas.

"Posisi ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman pansel akan konteks dan mandat KPK sebagai penegak hukum," ucap Kurnia.

Selanjutnya ada sejumlah penegak hukum aktif menjadi pimpinan KPK. Pada 26 Juni 2019 Koalisi mencatat pansel menyebutkan bahwa lebih baik pimpinan KPK ke depan berasal dari unsur penegak hukum.

Alasan pansel lantaran penegak hukum dipandang lebih berpengalaman dalam isu pemberantasan korupsi meski logika tersebut dinilai keliru karena seakan pansel tidak paham dengan original intens pembentukan KPK.

"Sejarahnya KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum konvensional tidak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan lebih jauh: Apa saat ini penegak hukum lain telah baik dalam pemberantasan korupsi? Berbagai penelitian dan survei masih menempatkan penegak hukum dalam peringkat bawah untuk penilaian masyarakat dalam pemberantasan korupsi," tegas Kurnia.

Selanjutnya dalam berbagai kesempatan pansel kerap menyebutkan bahwa isu kepatuhan terhadap pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak dijadikan faktor yang menentukan dalam proses seleksi pimpinan KPK.

"Pansel tidak memahami bahwa untuk mengukur integritas seorang penyelenggara negara atau pun penegak hukum salah satu indikator yang digunakan adalah kepatuhan LHKPN dan LHKPN merupakan perintah undang-undang kepada setiap penyelenggara negara maupun penegak hukum," tutur Kurnia.

Isu lain adalah sejak awal pembentukan Pansel sama sekali tidak memberitahukan kepada publik terkait jadwal pasti proses seleksi Pimpinan KPK.

Kemudian pansel juga dinilai ingin KPK hanya fokus kepada isu pencegahan.

"Salah seorang anggota Pansel menyebutkan agar KPK ke depan lebih baik pada aspek pencegahan pasca pidato dari Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Seharusnya bagaimana politik penegakan hukum dilakukan oleh KPK bukan menjadi bagian Pansel KPK untuk menerjemahkan," ungkap Kurnia.

Terhadap 20 orang capim KPK yang lolos profile assessment, koalisi juga menilai bahwa mereka tidak mencerahkan masa depan pemberantasan korupsi.

"Lolosnya 20 calon yang pada tahapan ini tidak menggambarkan masa depan cerah bagi KPK ke depan. Masih ada calon di antara 20 nama tersebut yang tidak patuh dalam melaporkan LHKPN, bahkan beberapa nama mempunyai catatan kelam pada masa lalu. Ini mengartikan bahwa Pansel tidak mempertimbangkan isu rekam jejak dengan baik," ujar Kurnia.

Koalisi menegaskan bahwa apabila calon-calon dengan rekam jejak bermasalah lolos berarti Pansel KPK memiliki andilnya sendiri dalam lemahnya agenda pemberantasan korupsi ke depan.

"Hal yang terpenting adalah peran Presiden Joko Widodo sebagai pemegang mandat tertinggi dalam proses seleksi ini. Apakah sebenarnya Presiden setuju dengan 20 nama yang menyisakan banyak persoalan seperti saat ini? Apakah Presiden sepakat jika kelak nantinya Pimpinan KPK yang terpilih justru mempunyai rekam jejak bermasalah pada masa lalunya dan beresiko melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi di Negeri ini?" ucap Kurnia, mempertanyakan.

Koalisi Kawal Capim KPK pun menuntut dua hal kepada Presiden Jokowi dan pansel pimpinan KPK.

"Kami menuntut agar Presiden Joko Widodo memanggil serta mengevaluasi Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2019-2023 dan agar pansel lebih peka dan responsif terhadap masukan masyarakat serta mencoret nama-nama yang tidak patuh melaporkan LHKPN dan mempunyai rekam jejak bermasalah," tegas Kurnia.

Koalisi kawal capim KPK terdiri atas Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019