Bekasi, (ANTARA News) - Sekitar 600 pekerja dari PT Tong Yang Indonesia (TYI) dan Kariye Polamer, Minggu, menduduki kantor DPC Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPC-SPSI), Jalan Rawa Tembaga, Bekasi. "DPC SPSI ingkar janji dengan tidak memperjuangkan korban PHK yang belum mendapat upah dari manajemen perusahaan," kata pengurus SPSI PT TYI, Amin Suhendri, di kantor SPSI Bekasi. Di halaman kantor SPSI, para pengunjuk rasa menggelar pidato dan membentangkan spanduk bertuliskan "Pemilik Perusahaan Yang Memproduksi Sepatu Itu Harus Segera Membayar Upah Mulai Bulan Desember 2006 hingga Mei 2008". Pekerja korban PHK PT TYI meminta pengurus DPC SPSI Bekasi mendesak manajemen perusahaan tersebut segera membayar upah dan uang pesangon. Pengunjukrasa menyatakan mereka mewakili sekitar 9.000 pekerja korban PHK. Mereka mendesak produsen sepatu tersebut membayar upah sebesar Rp120 miliar yaitu untuk Desember 2006 hingga Mei 2008. PT TYI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat atas permohonan sejumlah pemasok. Utang perusahaan tersebut mencapai Rp1,1 triliun. "Soal utang, itu tanggungjawab manajemen dan pekerja tidak mau ikut campur, tapi nyatanya upah buruh tidak dibayar, sehingga pekerja menduduki kantor DPC SPSI Bekasi agar membantu menyelesaikan masalah itu," ujar Amin. Sementara itu, ratusan buruh korban PHK PT Kariye Polamer (KP), produsen sepatu di Bantargebang juga mendesak pengurus SPSI Bekasi membantu menyelesaikan persoalan yang menimpa pekerja. Mereka mendesak manajemen membayar upah mulai Januari 2007 hingga Mei 2008 yang besarnya sekitar Rp49 miliar. Pemilik perusahaan memindahkankan pabrik ke Tangerang, Provinsi Banten, kata koordinator unjukrasa, Sudirman. "Kami akan terus mendesak pengurus DPC SPSI Bekasi membantu pekerja korban PHK agar manajemen PT Kariye Polimer memenuhi tuntutan kami," ujar Sudirman. Setelah berunjuk rasa sekitar tiga jam, sebagian demonstran diterima oleh Ketua DPC SPSI Bekasi, Abdullah. Menurut Abdullah, manajemen PT Kariye Polamer yang memindahkan pabriknya di Tangerang tidak bertanggungjawab karena belum membayar upah dan pesangon. "Manajemen PT KP itu tidak mau membayar upah dan pesangon pekerjanya, malah memindahkan pabrik ke Tangerang," ujarnya. Dalam dialog itu, terungkap bahwa 9.000 pekerja PT TYI yang dirumahkan belum menerima upah sejak Desember 2006 hingga Mei 2008, sementara pemilik perusahaan enggan bertanggungjawab karena pailit. "Kenapa pengurus DPC SPSI Bekasi tidak memperjuangkan hak pekerja yang menjadi korban PHK PT TYI," kata Yeni Fitriyanti, korban PHK PT TYI. Menanggapi desakan pengunjuk rasa, Ketua DPC SPSI Bekasi, Abdullah, mengatakan pihaknya hanya sebagai fasilitator antara buruh dengan manajemen perusahaan. Kondisi keuangan perusahaan TYI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Jakarta sesuai permohonan sejumlah pemasok. Uang pesangon dan upah juga akan ditentukan majelis hakim PN Niaga. "Agar anda paham bahwa yang menyelesaikan masalah upah ini adalah manajemen perusahaan dan buruh sendiri, tetapi karena masalah tersebut sudah ditangani secara hukum, besaran uang pesangon dan upah akan ditentukan majelis hakim PN Niaga, Jakarta," ujarnya. Hingga sore ini, ratusan buruh kedua perusahaan tersebut masih menduduki kantor DPC SPSI Bekasi. (*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008