Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan penguatan ekspor ke negara non tradisional seperti Afrika sangat diperlukan untuk mendukung kinerja pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jadi sangat perlu untuk meningkatkan ekspor, khususnya ke berbagai daerah atau negara yang selama ini belum kita optimalkan market-nya ke sana," kata Heri dalam pernyataan di Jakarta, Kamis.
Heri mengatakan potensi pasar Afrika sangat besar, karena negara-negara di kawasan tersebut sedang berproses untuk menjadi negara lower middle income dari sebelumnya negara lower income serta membutuhkan produk-produk kebutuhan dasar seperti pakaian, pangan, dan obat-obatan.
"Itu kita bisa bikin semua, artinya, ada kecocokan, mereka butuh apa, kita bisa produksi," kata Heri.
Untuk memperkuat kinerja ekspor ke pasar Afrika tersebut, Heri juga mengharapkan adanya lobi dengan negara mitra dagang guna menurunkan atau bahkan menghilangkan sebanyak-banyaknya tarif yang dapat menghambat perdagangan.
Menurut dia, jika produk Indonesia terbebas dari berbagai hambatan tarif maupun non-tarif, keberadaan produk Indonesia akan lebih kompetitif dibandingkan produk negara-negara pesaing lain yang juga mengincar pasar Afrika.
"Kita berdagang di salah satu negara tujuan, tentu kita punya saingan sehingga produk kita harus lebih kompetitif dibanding saingan-saingan kita, sebut saja ada China dan Vietnam," katanya.
Selain itu, Heri mengharapkan adanya strategi perundingan yang benar-benar akan meningkatkan ekspor Indonesia karena setiap perjanjian selalu meminta adanya hubungan timbal balik seperti kemudahan impor dari negara mitra dagang sebagai efek resiprokal.
Sebelumnya, kajian pemetaan mitra dagang non tradisional yang dibuat Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI (FEUI) menyatakan pasar Afrika sangat potensial dengan beberapa negara mempunyai pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata Asia dan dunia.
Beberapa produk Indonesia yang berpotensi besar mengisi pasar di negara-negara Afrika adalah barang konsumen yang bergerak cepat atau fast moving consumer goods (FMCG), terutama produk makanan dan minuman, seperti mie instan.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Soetrisno mengatakan langkah strategis dengan membuka pasar ke Afrika harus dilakukan mengingat perekonomian di beberapa negara di kawasan tersebut sedang menggeliat.
"Pendekatan dan pembuatan kerja sama dagang secara bilateral dengan negara Afrika wajib dilakukan agar kita tidak ketinggalan dengan negara lain," katanya.
Untuk memperlancar kinerja perdagangan ke Afrika, Benny mengharapkan adanya upaya perundingan untuk menghapus hambatan nontarif yang selama ini masih diberlakukan di sebagian negara di kawasan tersebut.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia mulai menjajaki pasar ekspor ke Afrika melalui Konferensi Tingkat Tinggi Indian-Ocean Rim Association (IORA) yang berlangsung pada Maret 2017.
Salah satu hasil penjajakan tersebut adalah kesepakatan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Mozambik yang akan ditandatangani dalam waktu dekat.
Mozambik merupakan pasar potensial karena memiliki pelabuhan laut dan zona perdagangan bebas sehingga diharapkan dapat menjadi hub dari masuknya produk Indonesia ke kawasan Afrika bagian Selatan.
PTA antara Indonesia dan Mozambik ini terbatas pada perdagangan barang yang hanya mencakup produk-produk prioritas serta unggulan kedua negara sehingga kepentingan nasional tetap menjadi prioritas.
Indonesia telah mencatatkan tren positif dengan Mozambik, melalui surplus neraca perdagangan pada semester I-2019 mencapai 52,28 juta dolar AS, atau tumbuh 139,66 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Baca juga: RI-Mozambik telah selesaikan negosiasi perjanjian 200 produk
Baca juga: WIKA-Afrika catat kesepakatan bisnis senilai 365 juta dolar AS
Pewarta: Satyagraha
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019