Depok (ANTARA News) - Sejarawan Norwegia asal Palestina, Prof Dr Salim Nazzal, mengatakan bangsa Palestina telah berpengalaman mengusir semua bangsa yang pernah menjajah negara mereka.
"Sepanjang sejarah Palestina, rakyatnya membela negara mereka melawan semua penjajah", kata Nazzal dalam Konferensi Internasional Palestina di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, yang berakhir Kamis (15/5).
Konferensi dengan tema "Kemerdekaan dan Hak Kembali Pengungsi Palestina dan 60 Tahun Pembersihan Etnis (Freedom and Right of Return Palestine and 60 Years of Ethnic Cleansing)" itu berlangsung selama dua hari.
Konferensi internasional tersebut diprakarsai oleh Universitas Indonesia (UI) dan "Voice of Palestine: Indonesian Society of Palestine Freedom" dengan menghadirkan sejumlah tokoh dalam negeri dan luar negeri.
Nazzal mencatat bahwa bangsa Palestina pernah berhasil memerangi tentara Salib, yang melakukan pembantaian massal dan menewaskan ribuan orang di Jerusalem pada 1096.
Selain itu, katanya, bangsa Paletina juga berontak melawan Usmani (Turki) pada abad ke-18 di bawah kepemimpinan Syeikh Daher Al-Qomar.
Begitu pula, ujarnya, mereka mengalahkan penakluk Perancis, Napoleon Bonaperte, pada 1801 di Bukit Nablus, Tulkarem dan Genin.
Bangsa Paletina juga melancarkan revolusi besar melawan pendudukan Inggris pada 1936, katanya.
Dan kini, bangsa Palestina sedang melangsungkan revolusi modern melawan negara Zionis sejak 1967, kata ahli sejarah asal Palestina itu.
Proyek kolonial
Dalam penelitiannya, Prof Nazzal menemukan bahwa Zionis Israel mengadopsi proyek-proyek kolonial bangsa kulit pulih di benua Amerika, Asia dan Afrika.
"Proyek Zionis merupakan salinan korup dari proyek lain, yang terjadi dalam periode-periode sebelumnya," kata Prof Nazzal.
Menurut dia, faktor kesamaan antara proyek-proyek kolonial adalah sama, yaitu kejahatan terhadap penduduk pribumi dari negeri-negeri yang dijajah.
Terdapat tiga paradigma kolonial Barat yang diadopsi kaum Zionis Yahudi, katanya.
Paradigma pertama, pendudukkan kolonial Eropa kulit putih atas apa yang disebut "Dunia Baru", yakni benua Amerika, Australia, dan Selandia Baru.
Dalam contoh itu, katanya, penduduk pribumi dikuasai oleh gelombang imigran Eropa yang mengubah penduduk asli menjadi minoritas.
Paradigma kedua, pemukim Eropa kulit putih di negeri yang dikenal Rhodesia dan Afrika Selatan.
Dalam model kolonial ini, ujarnya, imigran kulit putih terus menjadi minoritas dan pada akhirnya kehilangan kekuasaan akibat perlawanan penduduk pribumi.
"Bukan suatu kebetulan, negara Zionis Israel yang berdiri tahun 1948, memelihara hubungan dekat dengan rezim kulit putih Afrika Selatan dan Rhodesia dengan memasok senjata ke kedua negara tersebut," katanya.
Adapun paradigma ketiga adalah proyek kolonial Zionis di Palestina, yaitu proyek tanpa akhir sebagaimana di Amerika Utara, tempat kaum penjajah muncul sebagai mayoritas yang berkuasa sepanjang masa, atau sebagaimana di Afrika Selatan --yang apartheid yang terus menjadi minoritas.
Saat ini, katanya, jumlah penduduk Israel dan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza kurang lebih sama, masing-masing berkisar lima juta jiwa, padahal sebelumnya orang Yahudi minoritas.
Kesamaan jumlah penduduk itu terjadi karena Israel mengizinkan semua kaum Yahudi dari seluruh dunia menjadi warganegara Israel, sementara warga Palestina diusir dari tanah leluhur mereka, katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008