Batu (ANTARA News) - Mantan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Syafi`i Ma`arif menyatakan, usia peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang ke-100 (satu abad) bukan tahun 2008 ini, tetapi masih 20 tahun lagi."Kebangkitan bangsa yang ditandai dengan lahirnya gerakan Budi Utomo, bukanlah awal kebangkitan bangsa, tetapi bersatunya seluruh komponen anak muda dari berbagai ras, etnis dan budaya itulah yang menjadi awal kebangkitan," katanya dalam pidato singkatnya pada acara "100 Tahun Kebangkitan Nasional" di Batu, Jawa Timur, Rabu malam.Menurut dia, bangkitnya para pemuda yang ditandai dengan deklarasi "Sumpah Pemuda" pada tanggal 28 Oktober 1928 itulah yang menjadi tonggak kebangkitan nasional bukan gerakan Budi Utomo.Oleh karena itu, katanya, perlu adanya kebijakan politik pemerintah untuk mengkaji ulang atau mengoreksi keputusan politik dimana pemerintah telah menetapkan gerakan Budi Utomo tahun 1908 sebagai Harkitnas. Ia mengakui, tak ada satupun orang atau organisasi atau lembaga manapun yang menyangkal jika Budi Utomo memiliki jasa yang sangat besar bagi lahirnya sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia, tetapi belum cukup representatif sebagai tonggak lahirnya kebangkitan nasional. Ia mengatakan, penetapan Harkitnas yang diawali dari lahirnya gerakan Budi Utomo, tidak lebih dari sebuah mitologi. "Apakah gerakan Budi Utomo ini sudah cocok sebagai kebangkitan bangsa, apakah tidak lebih cocok dan lebih mengena jika lahirnya Sumpah Pemuda ini sebagai tonggak kebangkitan nasional," katanya menegaskan. Pada kesempatan itu Buya Syafi`i juga menyoroti keberadaan Kemerdekaan Indonesia yang sampai sekarang tidak terurus padahal hampir mencapai usia 63 tahun dan semua itu disebabkan besarnya gesekan politik di tanah air sejak Proklamasi. Tidak terurusnya kemerdekaan yang diraih dengan perjuangan itu, katanya, menjadi tanggungjawab para pemimpin bangsa, sebab sampai sekarang bangsa Indonesia masih belum juga "siuman" bahkan cita-cita luhur reformasi 10 tahun lalu juga kandas diperjalanan. Indonesia di abad 21 ini, lanjutnya, masih dalam kondisi sempoyongan dan yang menjadi masalah terbesar serta terparah adalah masalah kepemimpinan serta sistem demokrasi yang masih buruk. "Dari jumlah penduduk hampir 240 juta ini, yang `busuk` itu tidak lebih dari 5 ribu orang, tetapi 5 ribu orang itu berada pada puncak kekuasaan termasuk perekonomian," katanya menegaskan. Untuk melepaskan kondisi buruk itu, bangsa Indonesia harus berani melepaskan diri dari berbagai mitologi termasuk menjadikan Sumpah Pemuda sebagai tonggak kebangkitan Indonesia melalui persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa. Selain itu, juga dengan sungguh-sungguh menyiapkan seorang pemimpin bangsa yang moralis, kuat dan tidak menggantungkan pada bantuan asing yang tidak tulus, menghindari pemimpin yang bermental proyek.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008