Kunci pemberantasan IUU fishing adalah jika negara memiliki kebijakan nasional dan dukungan politik kuat
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memamerkan peningkatan stok ikan Indonesia dari 7,3 juta ton pada 2015 menjadi 13,1 juta ton pada 2018 dalam panel internasional KTT Ekonomi Samudera Berkelanjutan di Canberra, Australia.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu mengatakan dirinya didaulat menjadi pembicara pada HLP Meeting tersebut pada 20-21 Agustus 2019 di Canberra, Australia.
Dalam kesempatan tersebut, Sjarief menyampaikan bahwa perang melawan IUU fishing (penangkapan ikan ilegal) yang hingga kini dilaksanakan di Indonesia, telah berdampak pada peningkatan tangkapan ikan di laut sebesar 6,7 juta ton pada 2018, dan saat ini jumlahnya diperkirakan terus meningkat.
Oleh karena itu, ujar dia, Indonesia juga mendorong negara-negara maju dapat memberikan bantuan kepada negara berkembang untuk memperkuat kapasitasnya guna memerangi IUU fishing dan kegiatan-kegiatan kriminal yang terkait.
"Kunci untuk pemberantasan IUU fishing adalah jika negara memiliki kebijakan nasional dan dukungan politik yang kuat untuk memerangi IUU fishing. Kami mendorong seluruh negara untuk membuat kebijakan yang tepat, berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas penegakan hukum, dan mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang kuat untuk menutup pintu terjadinya IUU fishing," jelas Sjarief.
Dalam paparannya, Sjarief menjelaskan bahwa manajemen perikanan Indonesia terbagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP), berdasarkan karakteristik khas masing-masing area, geomorfologi dan jenis ikan yang hidup di area tersebut.
Perbedaan antara satu area dan area lainnya mengharuskan pemerintah untuk membuat pendekatan manajemen yang berbeda untuk setiap area.
Setiap tahun, KKP melalui BRSDM melakukan kajian terhadap stok sumber daya yang ada di seluruh WPP untuk mengetahui perkembangan potensi sumber daya ikan yang ada.
"Berdasarkan Undang-Undang Perikanan Indonesia, penilaian stok ikan wajib untuk menetapkan manajemen perikanan. Ini dilakukan oleh komisi nasional yang ditunjuk, yaitu Komisi Nasional untuk Penilaian Stok Ikan (Komnas Kajiskan). Hasil penilaian dilaporkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai dasar untuk mengatur potensi dan alokasi perikanan," ujar Sjarief.
Dijelaskan bahwa KKP melakukan penilaian stok ikan dengan beragam metodologi yang terus dikembangkan untuk mendapatkan data yang lebih akurat.
Metodologi yang digunakan, di antaranya model produksi surplus untuk menghitung stok ikan lestari (maximum sustainable yield/MSY), metodologi swept area, yang merupakan metode pengambilan sampel untuk menghitung kepadatan rata-rata ikan dalam suatu area menggunakan pukat dasar atau pukat balok, metode port sampling oleh enumerator di lokasi-lokasi pendaratan ikan pada setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP), serta metode hidroakustik.
"Seluruh data dan informasi yang diperoleh, akan digunakan untuk melakukan analisis estimasi potensi stok sumber daya ikan. Analisis ini melibatkan tenaga ahli dan review oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan. Hasil dari beragam metodologi tersebut, diketahui bahwa Indonesia mengalami peningkatan stok ikan yang signifikan pada 2015 hingga 2017. Ini adalah tahun ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membuat reformasi kebijakan besar-besaran untuk memerangi IUU fishing," ucap Sjarief.
Sjarief memaparkan, pihaknya telah belajar bahwa manajemen berbasis bukti ilmiah sangat penting untuk mencapai perikanan berkelanjutan karena berpotensi untuk menentukan pendekatan mana yang cocok dan bagaimana memanfaatkan sumber daya secara optimal tanpa membahayakan keberlanjutannya.
Baca juga: Peningkatan stok ikan dirasakan karena alih muatan dilarang
Baca juga: KKP sebut stok ikan di perairan melonjak akibat berantas pencurian
Baca juga: Langkah Susi tenggelamkan kapal pencuri telah naikkan stok ikan nasional
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019