Singapura, (ANTARA News) - Harga minyak mentah mengalami penurunan di perdagangan Asia pada Rabu setelah mencapai rekor tinggi baru mendekati 127 dolar AS per barel, meskipun diperkirakan pertumbuhan permintaan energi tampak lebih rendah, kata analis. Kontrak berjangka minyak utama New York, jenis light sweet pengiriman Juni, turun delapan sen menjadi 125,72 dolar per barel. Kontrak acuan naik ke rekor 126,98 dolar sebelum ditetapkan pada kisaran 125,80 dolar pada Selasa di New York Mercantile Exchange (Nymex). Kenaikan itu sekitar 1,57 dolar pada penutupan tersebut. Harga minyak mentah naik dua kali lipat dalam setahun terakhir dan menguat 25 persen sejak awal 2008, demikian diwartakan AFP. Sementara itu minyak mentah di New York Senin lalu menembus rekor puncak sebelumnya 126,40 dolar AS. Pada akhir perdagangan tampak melesat setelah pada awal perdagangan Selasa turun, sesudah Badan Energi Internasional (IEA) menurunkan perkiraan pertumbuhan permintaan minyak global. Harga minyak Laut Utara Brent untuk Pengiriman Juni turun 13 sen menjadi 123,97 dolar per barel, setelah ditutup pada kisaran 124,10 dolar pada Selasa di London. IEA yang berbasis di Paris itu memperkirakan dalam laporan bulanannya bahwa permintaan minyak mentah 2008 akan berada pada kisaran 86,8 juta barel per hari (bpd), 1,2 persen lebih besar dari pada tahun lalu berkisar 390.000 bpd lebih rendah dari pada estimasi sebelumnya yang diberikan pada April. Lembaga pemantau energi itu juga mengatakan estimasi permintaan minyak dunia 2007 berada pada angka 85,8 juta bpd, naik 1,1 juta bpd atau 11,3 persen dibanding 2006 tetapi 150.000 barel lebih rendah dari pada estimasi April. "IEA merevisi proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global menjadi hanya satu juta bpd untuk 2008 dan memperingatkan revisi penurunan lagi," kata analis Petromatrix, Olivier Jakob. IEA awal tahun memperkirakan pertumbuhan permintaan 2,1 juta bpd yang membuat proyeksi permintaan global turun hampir setengah sejak awal tahun. Harga minyak terus melonjak pada Selasa, seiring dengan masuknya para investor, kata para analis mengutip berbagai faktor kenaikan harga tahun ini, termasuk meningkatnya permintaan energi dari kekuatan ekonomi Asia yakni China dan India, serta penolakan Organisasi Negara-anegara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memompa lebih banyak produksinya. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008