Depok (ANTARA News) - Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang jatuh pada tanggal 20 Mei 2008, hendaknya bisa dijadikan bahan introspeksi diri tentang kepemahaman arti kemerdekaan. Hal tersebut dikatakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X, usai memberikan Orasi Budaya, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, (FIB-UI) di Depok, Jawa Barat, Selasa. Sri Sultan mengatakan, saat ini generasi muda bangsa Indonesia seperti sudah kehilangan arah. "Mereka seperti tidak mengetahui apa yang menjadi cita-cita masa depannya," jelasnya. Menurut dia, dilihat dari sisi momentum bangsa Indonesia melintasi simpul-simpul sejarah penting tahun ini. Peristiwa itu adalah 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 10 tahun Reformasi, serta 63 tahun Proklamasi Kemerdekaan. "Ironisnya dalam lintasan sejarah tersebut bangsa Indonesia masih dibelenggu oleh kemiskinan dan pengangguran serta dibelit oleh tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan yang rendah," ujarnya. Situasi Indonesia yang dalam batas-batas tertentu bisa disebut sudah patologis tersebut, sebenarnya merupakan sebuah realitas keganjilan di negeri yang kaya raya, bukan hanya dalam ukuran sumber daya alam tetapi juga melimpahnya sumber daya manusia. Sejauh ini, kata dia, etilogi keganjilan tersebut cenderung disebabkan oleh sekelompok elite yang bermain kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, dan adanya kesalahan dalam tata ekonomi politik, yang dinilai telah gagal menyejahterakan rakyat. Lebih lanjut Sri Sultan mengatakan, akar kemiskinan yang selama ini terjadi sebenarnya bukan disebabkan semata-mata oleh pejabat yang kurang amanah dan kurang baiknya tata kelola politik ekonomi saja, tetapi bersumber pada akar dari paradigma pembangunan itu sendiri. Selama ini, kata dia, bangsa ini selalu meletakkan pertumbuhan dan tidak pernah meletakkan keadilan sebagai jiwa dari paradigma pembangunan. "Akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan rakyat," jelasnya. Dikatakannya, kebangkitan bangsa Indonesia harus dimulai dari kesepakatan untuk menghargai pluralisme dan menjadikan kebudayaan sebagai koordinat paradigma pembangunan nasional. "Paradigma ini tidak akan membuat kita kaya, tapi akan menyebabkan kita bebas," demikian Sri Sultan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008