Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) terhadap kasus kepemilikan silang Temasek, BUMN Singapura, di dua operator telekomunikasi Indonesia mengejutkan karena pengadilan mengubah putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dari biasanya hanya menguatkan atau menolak keputusan komisi itu, kata mantan anggota KPPU Pande Radja Silalahi."KPPU sudah di persimpangan jalan karena keputusannya sudah bisa ditambah dan dikurangi," kata Pande Radja yang juga pengamat ekonomi Centre for Strategic International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa.Majelis Hakim PN Jakarta Pusat pada Jumat (9/5) menyatakan Temasek Holding Limited bersama anak perusahaannya terbukti secara sah melakukan pelanggaran Pasal 27 a Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Anak perusahaan Temasek Holdings itu, yakni, Singapore Technologies Telemedia (STT) Pte Ptd, STT Communications Ltd, Asia Mobile Holdings Company Pte Ltd, Asia Mobile Holdings Pte Ltd, Indonesia Communications Ltd, Indonesia Communications Pte Ltd, Singapore Telecommunications Pte Ltd, dan Singapore Telecom Pte Ltd. Pande mengatakan, ia belum membaca keputusan KPPU. Namun ia menangkap adanya perubahan terhadap putusan KPPU. "Sepanjang pengetahuan saya, keputusan PN adalah menguatkan atau menolak (keputusan KPPU). Kalau memperkuat atau menolak memang seharusnya demikian," katanya. Seharusnya, kata Pande, KPPU harus bertanggung jawab penuh dengan keputusannnya. Sehingga jika keputusan KPPU diubah maka bisa mengurangi semangat KPPU. "Saya lama di situ. Begitu tanggung jawab dipikul maka jangan salah. Kita tidak pernah berpikir keputusan diubah, tapi ditolak atau diterima karena itu hakekatnya (KPPU) diberi sebagai lembaga khusus," katanya. Ditanya apakah aturan bahwa PN tidak boleh mengubah keputusan tersebut memang ada, Pande mengatakan, bahwa secara eksplisit memang tidak ada tapi implisit ada. "Kalau diubah putusan, coba bayangkan, tanggungjawab sudah lari dari KPPU," katanya, "Jadi saya terkejut sekali". Sementara itu, pengamat hukum perdagangan Udin Silalahi meminta semua pihak mempunyai prinsip dasar yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan kepemilikan mayoritas dalam masalah persaingan usaha. Ia mengatakan, jika hal itu tidak terjadi maka bisa menyebabkan iklim berusaha di Indonesia menjadi terganggu. Udin mengatakan, Pasal 27 UU Nomor 5/1999 menyebutkan, pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha atau kelompok pelaku menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Ia mengatakan yang dimaksud kepemilikan saham mayoritas adalah jika pemegang saham memiliki saham lebih dari 50 persen.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008