New York (ANTARA News) - Dari markasnya di New York, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara terang-terangan menyatakan sudah "gerah" terhadap Pemerintah Myanmar, salah satu negara Asia Tenggara yang pada 2 Mei dihantam Topan Nargis hingga menewaskan lebih dari 30.000 warga setempat. Rasa tidak nyaman tersebut seakan menjadi legitimasi bagi kegeraman yang dirasakan beberapa negara secara individual, termasuk Amerika Serikat, maupun lembaga-lembaga bantuan internasional yang sulit mendapatkan visa ke Myanmar untuk para petugas mereka yang akan menyalurkan bantuan. Kegerahan yang ditunjukkan oleh PBB, datang dari sosok teramat penting dalam tubuh organisasi dunia beranggotakan 192 negara itu, yakni Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Ban menyatakan frustrasi melihat junta militer Myanmar yang dinilainya terlalu lambat menjalankan upaya penyelamatan para korban yang sempat selamat dari bencana, seperti terlihat dari sulitnya petugas bantuan internasional masuk ke negara tersebut. Dengan sulitnya pengeluaran visa oleh junta, Myanmar dianggap belum menunjukkan itikad baik untuk bekerja sama dengan masyarakat internasional dalam menyalurkan bantuan dari luar negeri. "Ini sudah hari kesebelas sejak Myanmar diterpa Topan Nargis. Saya ingin menyatakan kekhawatiran dan frustrasi saya yang mendalam karena sangat lambatnya respon (dari pemerintah Myanmar) dalam menghadapi krisis kemanusiaan yang sangat parah ini," kata Ban kepada wartawan di New York, Senin. Jabatannya yang sangat prestisius dan dianggap penting oleh para pemimpin negara di dunia, yaitu sebagai Sekjen PBB, masih belum menjadi jaminan bahwa ia akan dapat berkomunikasi dengan mudah dengan pimpinan tinggi Myanmar. Ban mengungkapkan, hingga Senin dirinya masih belum dapat berbicara secara langsung dengan pemimpin senior Myanmar, Jenderal Tan Shwe. Sejak pekan lalu, kata Ban, dirinya sudah berkali-kali mencoba menelpon Tan Shwe guna meminta pemimpin junta tersebut berkoordinasi dengan masyarakat internasional dalam upaya penyaluran bantuan internasional. Ia juga berniat menyampaikan kepada Tan Shwe soal keinginan PBB untuk membantu secara penuh upaya penanganan korban pasca-bencana di Myanmar. "Saya tidak berhasil berbicara dengan beliau. Karena itu saya mengirimkan surat pagi ini (Senin) melalui saluran-saluran diplomatik. Ini surat saya yang kedua untuk beliau sejak terjadinya topan Nargis," kata Ban. Di Yangon, setelah sekian hari menyuarakan kekesalannya karena tidak dapat masuk ke Myanmar, Amerika Serikat akhirnya Senin berhasil mendaratkan pengiriman berbagai bantuan darurat bagi negara tersebut. AS mendaratkan pesawat angkut militer C-130 di Yangon dengan membawa 14 ton bantuan. Menurut laporan AFP yang mengutip pejabat Myanmar, dua pesawat C-130 lainnya sudah diberi ijin masuk untuk Selasa sementara pejabat PBB mengatakan Myanmar telah setuju memberikan visa bagi 34 petugas kemanusiaan internasional. Junta militer Myanmar pada Selasa waktu setempat menyatakan terima kasih kepada AS yang telah mengirimkan pesawat penuh dengan bantuan kemanusiaan. Namun seperti dikutip AFP, Laksmana Madya Soe Thein mengatakan bahwa kebutuhan ratusan ribu orang yang selamat dari bencana "untuk saat ini sudah tercukupi". Ban menyatakan lega karena banyak bantuan internasional yang akhirnya sudah dapat disalurkan ke Myanmar selama akhir pekan kemarin hingga Senin pagi. "Tapi saya ingin katakan lagi: masih begitu banyak yang diperlukan," kata Ban. Tahap Kritis Sekjen PBB tidak sependapat dengan ungkapan pejabat Myanmar bahwa kebutuhan darurat bagi para korban di Myanmar sudah tercukupi. Justru sebaliknya, Ban menekankan bahwa situasi kemanusiaan di Myanmar saat ini sudah berada pada tahap kritis --mengingat adanya kemungkinan berjangkitnya penyakit. Ia mengutip data jumlah korban tewas seperti diungkapkan Pemerintah Myanmar bahwa hingga Senin jumlah tersebut telah meningkat menjadi 31.939 orang. Selain itu, sebanyak 34.460 penduduk Myanmar lainnya hilang, dan diperkirakan 1,5 juta warga saat ini yang tengah menghadapi situasi memprihatinkan karena mendapat dampak dari bencana alam. PBB, Jumat lalu telah meluncurkan permintaan sumbangan dana dari masyarakat internasional melalui "Flash Appeal", yang menyebutkan bahwa badan-badan PBB serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat secara total memerlukan dana 187 juta dolar untuk membantu Myanmar menangani berbagai kondisi pasca-bencana. Menurut Ban, karena tidak terbukanya akses bagi petugas bantuan kemanusiaan internasional masuk ke Myanmar, pihak PBB baru dapat menyalurkan bantuan terhadap sepertiga dari total jumlah korban yang diyakini sangat memerlukan bantuan. Ia khawatir bencana kemanusiaan akan menjadi lebih besar jika bantuan internasional terlambat masuk ke Myanmar. Ban mengatakan dirinya sejak Jumat lalu memang telah berkomunikasi dengan pemimpin berbagai negara, termasuk Indonesia, Thailand, Australia, Jerman, Kanada, Norwegia dan China, juga bekerja sama erat dengan asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dalam rangka menggalang dukungan internasional serta tanggapan cepat terhadap kondisi di Myanmar. Namun secara khusus, pada Senin di New York, Ban meminta negara-negara tetangga mendorong junta militer Myanmar agar mau bekerja sama dalam penyaluran bantuan internasional bagi para korban. "Mereka (negara tetangga, red) punya kewajiban dan peranan khusus untuk memastikan bahwa pemerintah Myanmar bekerja sama secara penuh dan menolong rakyatnya agar selamat dari bencana ini," kata Ban. Sekjen tidak menyebut secara khusus negara-negara mana saja yang dimaksud. Myanmar adalah salah satu anggota ASEAN di samping Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos dan Kamboja. "Saya tekankan, ini bukan masalah politik. Ini menyangkut bagaimana menyelamatkan hidup manusia. Tidak ada waktu lagi untuk gagal," tegas Ban. Pekan lalu di forum Dewan Keamanan PBB, Indonesia bersama China menentang upaya sebagian anggota DK-PBB untuk membawa masalah bencana alam Myanmar ke Dewan Keamanan, badan PBB yang bertugas menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Indonesia meminta agar masalah bencana Myanmar tidak dipolitisir dan meyakini Dewan Keamanan bukanlah forum yang tepat di PBB untuk membahas isu tersebut. Namun demikian, tetap saja ASEAN perlu menjawab rasa frustrasi Sekjen PBB tentang lambatnya pendistribusian bantuan internasional ke Myanmar karena masih tertutupnya akses bantuan internasional dari pemerintah Myanmar. Para menteri luar negeri ASEAN dijadwalkan akan bertemu Senin (19/5), lebih dari dua minggu setelah bencana Topan Nargis melanda Myanmar, guna membahas langkah-langkah yang diperlukan kelompok tersebut dalam membantu salah satu negara anggotanya itu. (*)
Oleh Oleh Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2008