Dengan adanya e-commerce maka para perajin, petani, nelayan, peternak, dan produsen lainnya dapat menjual produk mereka tanpa perlu bertemu langsung dengan para pembeli.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal (Dirjen) Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Samsul Widodo mengatakan pemasaran berbagai produk unggulan desa dan daerah tertinggal dapat dipermudah dengan adanya sistem perdagangan elektronik atau "e-commerce".
"Dengan adanya e-commerce maka para perajin, petani, nelayan, peternak, dan produsen lainnya dapat menjual produk mereka tanpa perlu bertemu langsung dengan para pembeli, sehingga produk yang dijual dapat dipasarkan baik nasional maupun internasional," ujar Samsul Widodo dalam siaran pers di Jakarta, Senin.
Dodo menambahkan pihaknya menggunakan dua saluran untuk membantu penjualan berbagai produk dari daerah tertinggal menembus pasar global.
“Ada dua saluran yang digunakan yakni perusahaan rintisan dan satu lagi, kami datangkan pembeli. Kami juga bekerja sama dengan ATT (Alibaba). Produk yang kami ekspor yaitu rajungan dari Kendari dan vanila dari Alor. Ini yang kami fasilitasi karena ini yang kami dampingi. Kami sediakan gudang juga kerja sama dengan pemda. Berikutnya kacang kenari dari Alor dan Pulau Makiyan di Maluku Utara,” kata Dodo.
Baca juga: Kemendes kerja sama dengan toko daring kembangkan ekonomi digital desa
Baca juga: Kemendes dorong desa ekspor produk unggulan
Ditjen PDT fokus pada berbagai produk yang berkarakteristik unik seperti kacang kenari. Kebutuhan kenari di pasar Eropa cukup besar, karena kenari merupakan salah satu bahan pembuatan kue yang dibutuhkan di sana.
Namun, hal itu tidak cukup untuk mengembangkan daerah tertinggal. Sebab masih ada masalah yang cukup besar yang harus dicarikan jalan ke luar, yaitu masalah logistik dan kurasi produk.
Ia memberi contoh bagaimana dengan mudahnya orang Indonesia menemukan jeruk mandarin di pedagang kaki lima, tapi agak susah menemukan jeruk pontianak.
“Kenapa di kaki lima kita banyak yang jual jeruk mandarin, kenapa tidak jual jeruk pontianak?” kata Dodo berusaha menyederhanakan gambaran masalah.
Ia menjelaskan bahwa akarnya adalah persoalan logistik yang mana salah satunya adalah ketiadaan akses untuk petani mengangkut hasil kebun dengan efisien.
“Itu semua adalah persoalan logistik, kami dengan Kementerian Pertanian mengembangkan kontainer sebesar tiga ton, yang ukurannya tiga kaki agar bisa masuk ke desa-desa. Jadi ini yang harus dipikirkan dan diselesaikan,” kata Dodo.
Menurut dia basis logistik yang andal dan praktis akan membantu semua pihak untuk mendapatkan produk terbaik dengan harga yang bagus pula sehingga berbagai produk dari desa bisa sampai ke konsumen dengan harga relatif terjangkau.
"Dengan kata lain, harus ada upaya memotong mata rantai logistik yang terlalu panjang dan berbelit, agar petani atau nelayan terbantu mendistribusikan produknya," ujarnya.
Selain itu, Dodo juga menggarisbawahi persoalan kurasi produk yang masih menemui hambatan. Padahal, proses kurasi adalah satu tahap yang sangat penting sebelum sebuah produk bisa dianggap layak jual atau ekspor.
“Saya berharap teman-teman di perusahaan rintisan dan marketplace tak hanya menunggu teman-teman UKM mendaftar tapi bisa secara bersama. Kami siap untuk kerja sama, mulai dari kurasi, dan lain-lain, karena pemerintah tidak bisa kerja sendiri,” kata Dodo.*
Baca juga: Eko Putro: Desa harus tetapkan produk unggulan
Baca juga: Mendes PDTT minta bupati tetapkan produk unggulan
Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019