Surabaya (ANTARA News) - "Kami-kami ini berlatar belakang pendidikan pesantren, sehingga ndak banyak tahu aturan perundang-undangan. Kami duduk di legislatif, karena mandat dari ulama," kata mantan anggota DPRD Kabupaten Kediri, Amir Syarifudin.
Dia merupakan salah satu mantan anggota Panitia Anggaran (Panggar) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dimintai keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi Anggaran Rumah Tangga DPRD Kabupaten Kediri, Jawa Timur periode 2001-2004 senilai Rp10,5 miliar.
"Saya ndak tahu, Pak Hakim. Pokoknya setiap bulan saya menerima gaji berikut rinciannya," kata pria yang kini aktif sebagai tenaga pengajar di salah satu pondok pesantren di kawasan Semen, Kabupaten Kediri itu.
Sedang mantan anggota Panggar dari Fraksi PKB lainnya, Zawawi mengaku lupa saat ditanya jaksa penuntut umum (JPU) berapa penghasilan bulanannya.
"Pokoknya ada rinciannya, saya sendiri lupa jumlahnya. Kejadian itu sudah empat tahun lalu," katanya setiap kali mendapat pertanyaan dari JPU dan majelis hakim.
Demikian halnya dengan Sabrowi (Fraksi PKB) dan Nurhasan (Fraksi Partai Gabungan) tiba-tiba menjadi pelupa ketika ditanya seputar "uang haram" yang diterimanya dalam kurun waktu empat tahun di akhir masa jabatannya itu.
Jawaban "ndak tahu" dan "lupa" selalu menghiasi persidangan kasus "bancakan" uang negara dengan terdakwa Ketua DPRD Kabupaten Kediri periode 1999-2004, Zainal Musthofa itu.
"Saudara ini anggota Panggar (Panitia Anggaran), masak tidak tahu beberapa tunjangan yang saudara terima. Padahal saudara yang mengesahkan Perda nomor 4 tahun 2003 tentang tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota dewan!" kata anggota Majelis Hakim, Paluko Hutagalung dengan nada kesal.
Upaya JPU mendatangkan dua boks besar yang berisi dokumen tertulis dan kuitansi termasuk draf perda yang menyebabkan negara dirugikan hingga Rp10,5 miliar tak juga berhasil membuat para wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu 1999 itu mengakui perbuatannya dalam persidangan itu .
Saat majelis hakim menanyakan, kenapa pada tahun 2004 beberapa mantan anggota DPRD Kabupaten Kediri mengembalikan uang antara Rp1,5 hingga 4 juta, para saksi pun memberikan jawaban berbeda.
Amir Syarifuddin menyatakan, karena ada kekeliruan, sedang Zawawi mengaku lupa. Sementara, Sabrowi mengaku ikut-ikutan karena memang ada kelebihan honor yang diterimanya.
Hanya mantan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gatot Subekti yang mengaku tidak mengembalikan.
"Lho itu kan hak saya. Lagi pula tunjangan itu saya pergunakan untuk menyerap aspirasi di kalangan masyarakat. Ada bukti-buktinya," kata anggota Panggar DPRD Kabupaten Kediri itu.
Namun yang menarik saat dia mengungkapkan, penghasilan yang diterimanya pada 1999 lalu hanya Rp823 ribu per bulan, kemudian meningkat hampir sepuluh kali lipat pada 2004 menjadi Rp7,957 juta per bulan.
"Saya pikir itu wajar, mengingat aktivitas saya semakin padat menjelang Pemilu 2004. Jadi tunjangan operasional Rp1,451 juta per bulan, saya manfaatkan betul untuk menyerap aspirasi masyarakat," katanya.
Tak perlu dipaksa
Sementara itu Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kediri, Erry Mustianto menegaskan, pihaknya tak perlu memaksa para saksi untuk selalu bersikap jujur.
"Kami tidak punya hak untuk memaksa mereka tidak berbohong dan ingat atas apa yang mereka terima. Makanya saksi yang dihadirkan dalam persidangan ini banyak. Kami khawatir, kalau mereka diharuskan ingat dan tahu, malah makin menyulitkan kami dalam mengungkap fakta-fakta di persidangan," katanya berargumentasi.
Sedang dua anggota majelis hakim yang mendampingi Erry Mustianto dalam sidang tersebut, Paluko Hutagalung dan M Irfan justru geram dengan mantan anggota dewan yang berlagak pilon saat dimintai keterangan sebagai saksi.
"Pemandangan ini berbeda dibandingkan saat mereka menerima uang dulu. Sekarang ketika dimintai keterangan di dalam persidangan, mereka ramai-ramai mengaku lupa," kata Irfan usai mendengarkan keterangan saksi Amir Syarifuddin di PN Kabupaten Kediri pada 28 April lalu.
Ia menganggap, beberapa mantan anggota dewan itu berusaha "cari selamat" dengan cara "cuci tangan" saat ketua mereka, Zainal Musthofa sedang menghadapi tuntutan hukum.
Zainal Musthofa sendiri hanya tertegun saat menyimak keterangan beberapa rekan-rekannya yang dulu "kecipratan" dana fiktif itu.
Anggota Fraksi PKB DPRD Kabupaten Kediri selama dua periode itu kadang-kadang tersenyum kecut saat mengetahui rekan-rekannya berbohong dalam memberikan keterangan di persidangan.
Namun senyumnya mengembang, ketika para saksi dan mantan anggota dewan periode 1999-2004 itu menyalami atau sekadar memeluk tubuhnya yang semakin kurus sejak mendekam di Lapas Kediri pada 5 Maret lalu.
Berpeluang ditahan
Sementara itu JPU Agus Eko Purnomo menyatakan 50 anggota dan pengganti antar waktu (PAW) DPRD Kabupaten Kediri periode 1999-2004 yang kini menjadi saksi di persidangan kasus korupsi itu berpeluang menjadi terdakwa.
"Meskipun berbohong dalam memberikan keterangannya di pengadilan, tapi mereka sangat berpeluang menjadi terdakwa," katanya.
Pihak penyidik dan kejaksaan memiliki beberapa alat bukti, diantaranya berupa dokumen dan kuitansi penerimaan dana fiktif semua anggota dan pimpinan dewan pada periode itu.
Oleh sebab itu, lanjut dia, JPU tidak merisaukan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan di persidangan kasus itu.
Pernyataan senada juga dilontarkan Ketua Majelis Hakim PN Kabupaten Kediri, Erry Mustianto."KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) juga mengatur hal itu, tapi yang berwenang menetapkan dia sebagai tersangka atau terdakwa bukan hakim," katanya.
Menurut dia, kewenangan menetapkan saksi sebagai tersangka atau terdakwa adalah penyidik atau JPU sesuai dengan azas "denomiuslitis" dalam persidangan.
Dari beberapa saksi yang diminta pendapatnya mengenai ancaman itu, hanya Gatot Subekti yang menyatakan siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Saya sudah pamit kepada keluarga, hari ini tidak pulang, kalau memang hari ini juga saya ditahan dalam kasus ini," katanya di sela-sela memberikan keterangan sebagai saksi kasus itu dalam sidang di PN Kabupaten Kediri, Rabu (7/5) lalu.
Menurut dia, kasus yang terjadi selama periode 2001-2004 itu bukan semata tanggung jawab Zainal Musthofa selaku mantan Ketua DPRD Kabupaten Kediri. "Tapi juga kami-kami ini sebagai mantan Panitia Anggaran," katanya seakan siap menjadi martir.
Kasus korupsi ini sebenarnya terungkap sejak 2004, namun penahanan terhadap Zainal Musthofa baru dilakukan pada 2008.
Sebanyak 52 dengan tujuh diantaranya adalah anggota pergantian antar waktu turut menikmati dana fiktif senilai Rp10,5 miliar itu. Dari jumlah itu sebagian masih menjabat anggota DPRD Kabupaten Kediri periode 2004-2009, termasuk Zainal Musthofa, dan dua diantaranya meninggal dunia karena sakit.
Sampai saat ini sidang kasus korupsi berjemaah itu masih digelar di PN Kabupaten Kediri dua kali dalam sepekan.(*)
Oleh oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008