Jakarta (ANTARA News) - Indonesia terpaksa hanya gigit jari akibat hilangnya peluang meraup keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia, menyusul kegagalannya mengelola manajemen perminyakan, sehingga produksinya terus menurun dan kini dalam posisi sulit karena tergantung pada minyak impor. Demikian diungkapkan pengamat perminyakan Kurtubi dalam diskusi interaktif mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bekerja sama dengan Radio Smart FM, di Gedung DPD, Senayan Jakarta, Jumat. Kurtubi mengemukakan, akibat pengelolaan perminyakan nasional yang tidak tepat, pemerintah kesulitan mempertahankan APBN di tengah melonjaknya harga. Asumsi-asumsi APBN sudah tidak sesuai perkembangan, mengingat semakin membengkaknya subsidi BBM untuk rakyat. "Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk meraih keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia, tetapi kegagalan manajemen pengelolaan perminyakan mengakibatkan kita justru kesulitan," katanya. Tingkat produksi minyak nasional mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini produksi Indonesia hanya sekitar 927 ribu barel/hari. Dengan produksi sebesar itu, sangat sulit bagi Indonesia untuk tidak impor. Di tengah gejolak harga minyak dunia yang telah mencapai 124 dolar AS/barel, maka pemerintah harus mengeluarkan dana sangat besar untuk membeli minyak. "Kalau kita mau aman dan dapat untung dari kenaikan harga minyak, produksi harus mencapai setidaknya 1,3 juta barel/hari. Jika 1,3 juta itu sudah tercapai, kita aman dan sudah tenang di tengah gejolak minyak dunia," katanya. Dengan produksi sebesar itu, kata Kurtubi, maka subsidi Rp26 triliun hingga Rp30 triliun sudah bisa dipenuhi, tanpa harus menaikkan harga minyak di dalam negeri. Mengenai bantuan langsung tunai (BLT), Kurtubi berpendapat program itu memanjakan masyarakat. Sebaiknya pemerintah tidak mengandalkan BLT. Dana yang ada sebaiknya untuk program padat karya. "BLT tidak mendorong orang bekerja keras. Orang jadi manja," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008