Jakarta (ANTARA News) - Harga minyak mentah di pasar internasional semakin mencemaskan hati. Pada Selasa (6/5) harga "emas hitam" telah mencapai angka tertinggi, 122 dolar AS per barel di bursa London Harga minyak mentah bahkan diduga bisa melonjak lagi hingga 150-200 dolar AS per barel, karena berkurangnya pasokan antara lain dari Nigeria yang para pekerjanya melakukan mogok serta serangan kelompok "militan". Sementara itu, Iran yang juga merupakan produsen utama "emas hitam" masih menolak pemeriksaan internasional atas" fasilitas nuklirnya" yang dituduh AS digunakan untuk membuat "senjata pemusnah massal". Kenaikan harga minyak mentah yang telah mencapai dua kali lipathanya dalam waktu setahun telah memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga bahan bakar (BBM), dalam waktu dekat ini, karena sekalipun Indonesia merupakan produsen, tapi negara ini juga harus mengimpor minyak untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tahapannya sekarang bukan lagi memperbincangkan "naik" atau "tidak". "Tapi naik berapa. Apakah naik 20, 25, 30 atau 35 persen," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika bertemu dengan para pemimpin redaksi di Istana Negara, Jakarta, Senin. Karena menyadari bahwa kenaikan harga BBM itu akan memukul rakyat, maka untuk mengurangi beban rakyat, terutama kaum miskin, telah ditetapkan berbagai kompensasi. Kompensiasi itu dikemas dalam program seperti Kredit Usaha Rakyat(KUR), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) hingga bantuan tunai langsung plus. "Itu yang kita pikirkan. Itu kita hitung secara tepat," kata Kepala Negara. Kenaikan harga BBM itu diperkirakan mulai dilakukan 1 Juni 2008, setelah jajaran menteri perekonomian melakukan berbagai kajian, terutama menyangkut besaran kenaikan itu serta kapan saatnya yang paling tepat. Langkah pemerintah yang pasti tidak populer itu telah mendapat reaksi massa. Di beberapa kota di Jawa Timur, pada Selasa telah terjadi demonstrasi oleh berbagai unsur masyarakat, terutama mahasiswa. Seakan bisa menebak bakal munculnya aksi menentang kenaikan harga BBM itu, dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi berbagai media tersebut, Presiden Yudhoyono telah mengatakan, "Selalu ada risiko, ya politik, sosial dan keamanan." Pengakuan terbuka tentang bakal munculnya risiko di berbagai bidang kehidupan itu juga diakui Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta. "Keresahan sosial itu terjadi karena ada gap daya beli masyarakat. Kenaikan itu akan dikompensasi dalam bentuk bantuan kepada masyarakat," kata Paskah Suzetta yang pernah menjadi wakil rakyat dari Partai Golkar itu. Pilpres 2009 Sekalipun Indonesia adalah salah satu anggota negara Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), namun Indonesia juga telah bertahun-tahun menjadi pengimpor minyak mentah dan BBM. APBN 2008 menetapkan produksi minyak selama 2008 ini adalah sedikit di atas satu juta barel perhari, namun realisasinya ternyata rata-rata di bawah 950.000 barel per hari. Masih lebih rendahnya tingkat produksi jika dibandingkan dengan target produksi, ditambah lagi dengan semakin tingginya konsumsi BBM serta kenaikan harga BBM di pasar internasional, telah mengkhawatirkan pemerintah. Subsidi BBM bisa menyedot lebih dari Rp200 triliun atau 20 persen APBN-P, yang saat ini mencapai Rp920 triliun. Karena itu, pemerintah akan mendorong masyarakat untuk menghemat listrik guna mengurangi konsumsi BBM, misalnya dengan minta pusat-pusat belanja untuk membatasi jam operasinya. Pemerintah memang masih terus "menghitung" besaran kenaikan harga BBM, namun selama ini masyarakat "dicekoki" angka kenaikan 28,7 persen dengan memperhitungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan politis. Jika harga BBM naik, sudah pasti akan mengakibatkan naiknya biaya angkutan umum dan angkutan barang. Karena harga BBM naik, maka pasti para pengusaha mempunyai alasan untuk menaikkan harga jual produk mereka. Dengarkan saja dalih Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) MS Hidayat yang mengatakan "Dengan demikian (pengumuman kenaikan harga BBM) spekulasi dapat ditiadakan". Tentu saja pengusaha tidak akan pernah mau rugi dan berapa pun besarnya kenaikan harga BBM itu, pasti akan dibebankan kepada konsumen. Sekalipun kenaikan harga minyak mentah sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir ini sehingga patokan penerimaan dalam APBN 2008 telah dinaikkan dari 60 dolar AS/barel menjadi 95 dolar/barel dalam APBN-P dan mungkin naik lagi pada APBN-P berikutnya lagi, misalnya 110 dolar AS perbarel, ternyata pemerintah belum juga memutuskan kenaikan harga BBM itu hingga saat ini. Dengan menyimak pernyataan Presiden bahwa pemerintah menyadari bakal adanya risiko politik dan keamanan, maka tentu Yudhoyono sudah sudah melakukan "hitung-hitungan" pada pemilihan presiden 2009. Dalam berbagai kesempatan, Yudhoyono selama ini mengatakan bahwa pengumuman maju atau tidak maju dalam Pilpres baru akan diumumkan sekitar tiga bulan sebelum Pilpres berlangsung, atau sekitar Juni-Juli 2009. Selama masa pemerintahannya, Yudhoyono sudah pernah mengumumkan kenaikan harga BBM yang pasti disadarinya berdampak negatif terhadap orang-orang miskin. Jika pengumuman kenaikan harga BBM harus terjadi lagi, sedangkan Pilpres tinggal satu tahun lagi, maka keputusan ini bagai "buah simalakama", yang bakal meruntuhkan popularitas dirinya. Sebuah hasil survei tentang calon presiden atau capres baru-baru ini memperlihatkan bahwa SBY tetap merupakan calon paling populer jika dibandingkan dengan yang lainnya, misalnya Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wiranto, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung hingga Sutiyoso. Yang mungkin tengah dihitung Yudhoyono adalah berapa persenkah tingkat popularitasnya akan turun akibat keputusan menaikkan harga BBM itu. Karena selain memukul rakyat kecil, kenaikan BBM akan menjadi "amunisi" bagi lawan-lawan politiknya untuk menggerus popularitasnya. Yudhoyono harus menghitung berapa kenaikan harga BBM yang "masuk akal" bagi jutaan konstituennya, sehingga tidak terlalu merugikan kehidupan sehari-hari mereka, tapi juga bisa mempertahankan kepopulerannya menjelang pilpres sehingga bisa tetap duduk di kursi presiden masa bakti 2009-2014. (*)
Oleh Oleh Arnaz F. Firman
Copyright © ANTARA 2008