Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pelaku usaha merasa dipukul dua kali oleh pemerintah dan otoritas moneter, menyusul langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya, BI rate, dari 8,0 persen menjadi 8,25 persen. "Dua hari berturut-turut, dunia usaha menerima pukulan telak, satu dari pemerintah tentang kepastian kenaikan harga BBM bersubsidi, dan satu lagi dari otoritas moneter berupa keputusan BI menaikkan BI rate 0,25 basis poin," kata Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Moneter dan Fiskal, Bambang Soesatyo, di Jakarta, Selasa. Dikatakannya, kedua kebijakan berdampak sangat signifikan terhadap dunia usaha. Kenaikan harga BBM bersubsidi menyebabkan biaya distribusi membesar, sedangkan, kenaikan BI rate 0,25 basis poin berarti menambah beban biaya produksi atau modal kerja. "Peningkatan biaya distribusi dan produksi itu akhirnya harus dibebankan kepada harga jual produk. Kalau kenaikan itu diikuti dengan kenaikan harga produk, sama saja dengan tindakan bunuh diri, karena daya beli masyarakat merosot," katanya. Bambang mengakui dalam kondisi ekonomi normal, kenaikan BI rate sebesar 0,25 basis poin tidak berpengaruh besar. Namun kondisinya kini berbeda, dunia usaha menghadapi berbagai kondisi eksternal, mulai dari kenaikan harga minyak, bahan baku, dan melemahnya pasar dunia. "Sebenarnya kami berharap ada langkah kreatif dari BI dalam menyikapi tekanan ekonomi, tanpa menaikkan BI rate," katanya. Ia khawatir kenaikan BI rate tidak hanya memacu naiknya bunga pinjaman perbankan yang kini juga masih tinggi pada kisaran 14-15 persen, tapi juga mendorong semakin sedikitnya perbankan mengucurkan kredit ke sektor riil, karena semakin aman menempatkan dananya di SBI dibandingkan ke modal kerja dan investasi. "Dengan kenaikan BI rate, suku bunga pinjaman pasti akan membengkak dari 14-15 persen saat ini menjadi 16-17 persen," katanya. Dampaknya, lanjut Bambang, resiko kredit macet (NPL) semakin besar, terutama di sektor konsumsi, seperti pembiayaan untuk elektronik, sepeda motor, mobil, dan perumahan. "Saat ini tanpa kenaikan BI rate, saja resiko kredit macet sudah melonjak (NPL) 25 persen dari lima menjadi 6,25 persen," ujarnya. (*)
Copyright © ANTARA 2008