Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan amandemen UU Nomor 51 Tahun 1960 tentang Aset Negara karena UU tersebut belum memberikan hukuman setimpal bagi pihak yang menguasai aset negara secara tidak sah, kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono."Kita mengusulkan amandemen berbagai macam peraturan perundangan," kata Haryono setelah menemui sejumlah sekretaris jenderal dan inspektorat jenderal dari berbagai departemen di Jakarta, Selasa.Haryono menilai ketentuan tentang hukuman dalam undang-undang itu masih terlalu ringan. Aturan itu menyebutkan, pihak-pihak yang menguasai aset negara tanpa izin akan mendapat sanksi sebesar Rp5000 dan kurungan 3 bulan.Haryono mengatakan, KPK akan berkerjasama dengan berbagai departemen untuk membuat mekanisme secara nasional untuk menyelesaikan kasus penguasaan aset negara oleh pihak lain, termasuk oleh mantan pejabat. "Itu masalah hukum. Ini harus ada penanganan secara hukum," kata Haryono. Haryono juga menegaskan upaya KPK ini diharapkan akan berujung pada penghapusan aturan internal departemen, instansi, dan BUMN yang memperbolehkan penguasaan aset oleh mantan pejabat. Dia menyatakan, aset negara yang tidak dikuasai negara mencapai angka miliaran rupiah. Aset berbagai departemen, instansi dan BUMN itu tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sementara itu, Inspektur Jenderal Departemen Sosial Maman Supriatman mengatakan ada berbagai aset di departemen sosial yang masih dikuasai pihak lain. "Kami mengalami permasalahan bukti kepemilikan atas tanah," kata Maman memberikan contoh. Dia menyebut bidang tanah di Karanganyar, Jawa Tengah, seluas tujuh hektar lebih masih dikuasai warga. Selain itu ada empat aset Departemen Sosial di kawasan Cawang Kencana yang belum dikuasai negara. Masing-masing aset itu diperkirakan bernilai Rp8 miliar. Sedangkan Inspektur Jenderal Departemen Agama, M Suparta mengatakan Departemen Agama sedang menangani pengembilan aset berupa tanah seluas 10 ribu meter persegi di Jakarta. Penanganan kasus itu, menurut Suparta, terkendala oleh kurangnya data.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008