... pembangunan negara tidak dapat dilaksanakan secara parsial...
Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu salah satu anggota Fraksi PKS MPR Andi Akmal Pasluddin menyebutkan masyarakat Indonesia menginginkan kehadiran Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut dia GBHN ini diperlukan masyarakat Indonesia supaya bangsa Indonesia memiliki arah dan pedoman berbangsa yang jelas.
Pemilu Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung, serta Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif yang dilakukan secara bersamaan dan secara langsung, memiliki efek sistem perencanaan pembangunan nasional yang tidak terintegrasi secara baik.
Pada saat Orde Baru berkuasa selama lebih dari 32 tahun, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara di mana presiden "hanyalah" satu dari sekian lembaga tinggi negara.
Presiden diposisikan sebagai mandataris MPR yang wajib menjalankan arah pembangunan nasional dalam bentuk GBHN dalam skema besar Pelita/Repelita dan Pembangunan Jangka Panjang Pertama dan Pembangunan Jangka Panjang Kedua.
Sejalan dengan reformasi, tata aturan pemerintahan seperti itu berubah.
Juga baca: Pengamat: GBHN jadikan MPR lembaga yang lebih tinggi
Juga baca: Pengamat: Relevansi fungsi GBHN dengan sistem presidensial harus jelas
Juga baca: Pakar: Tak cukup DPR dan DPD susun GBHN
Ia mengatakan UU Nomor 17/2009 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak cukup dan tidak memiliki legitimasi yang kuat sehingga MPR harus memiliki garis besarnya. Hal itu menurut dia karena MPR sebagai representasi dari rakyat dan daerah, gabungan antara DPR dan DPD.
Untuk memunculkan GBHN itu tentu diperlukan amandemen kelima UUD 1945.
Ia pun berharap GBHN menjadi salah satu produk yang wajib menjadi arahan dan pedoman bagi presiden dan wakil presiden terpilih, gubernur dan bupati/walikota.
Kendati demikian beberapa pengamat hukum tata negara berpendapat bahwa tidak semudah itu GBHN dapat kembali dihidupkan.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Udayana Jimmy Usfunan menyebutkan terdapat tujuh hal yang perlu diperhatikan terkait dengan wacana untuk mengembalikan kewenangan MPR dalam menyusun GBHN.
Pertama adalah mengembalikan GBHN tidak boleh memposisikan MPR sebagai lembaga tertinggi, karena konstitusi telah menetapkan hal ini dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu supremasi konstitusi yang berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen.
Menurut dia bila GBHN akan kembali dihidupkan melalui MPR, maka lembaga negara itu harus dimaknai sebagai “rumah kebangsaan” untuk memusyawarahkan perencanaan negara ini ke depan.
Selain itu GBHN, kata dia, bukan sebagai haluan pemerintahan, melainkan sebagai haluan negara yang mengatur perencanaan pembangunan nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan baik di tingkat pusat maupun daerah.
"Ketiga, adanya GBHN tidak mengubah beberapa karakter sistem presidensial seperti presiden tetap dipilih rakyat, presiden tidak sebagai mandataris MPR, dan presiden tidak dapat diberhentikan (di-impeach) akibat tidak menjalankan GBHN secara baik," kata Usfunan.
Selanjutnya dia menyebutkan GBHN harus berisikan perencanaan pembangunan nasional secara garis besar, tidak secara teknis.
GBHN, menurut dia, harus dapat dijadikan panduan umum dalam perencanaan kebijakan masing-masing lembaga negara baik dalam kekuasan eksekutif, legislatif dan yudisial serta pemerintah daerah dalam mewujudkan cita-cita konstitusional.
Hal kelima yang harus diperhatikan adalah penyusunan perencanaan pembangunan nasional harus didasarkan pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta tidak boleh ada sanksi hukum dalam pelaksanaan haluan pembangunan nasional.
Terakhir dia menyebutkan perlu adanya mekanisme laporan kinerja, bukan laporan pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, termasuk kinerja MPR sendiri.
"Ketujuh catatan ini dimaksudkan agar jangan sampai munculnya GBHN bertentangan sistem presidensial, sebagai amanat reformasi," kata dia.
Tiga Pertanyaan
Adapun pengamat hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab sebelum ide menghidupkan kembali GBHN diterima dan direalisasikan.
Pertanyaan pertama mengenai relevansi mengembalikan GBHN dengan sistem presidensial yang pada saat ini digunakan sebagai sistem pemerintahan Indonesia, di mana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Selanjutnyadia mempertanyakan apa ekspektasi terhadap GBHN, dan ke depan apa fungsi dari GBHN.
"Nantinya GBHN itu akan berfungsi seperti apa, lalu apakah GBHN itu sebagai panduan nasional yang kemudian betul-betul menjadi acuan nasional. Ini semua adalah contoh pertanyaan yang harus dijawab sebelum ide GBHN itu diterima," kata dia.
Menurut dia pada saat ini diskusi mengenai GBHN harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan baik dan diterima oleh logika hukum.
Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan baik, dengan jelas, dan diterima logika hukum, maka spekulasi dan asumsi-asumsi yang beredar mengenai GBHN dapat diredam, jelas Oce.
Persoalan lain yang muncul adalah pertanyaan tersebut dinilai Oce belum dapat terjawab dengan baik, terutama oleh kelompok-kelompok yang menginginkan GBHN kembali dihidupkan.
Jawaban atas tiga pertanyaan tersebut juga harus jelas dan diterima oleh logika hukum, mengingat GBHN dapat dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja presiden.
Lembaga Tertinggi
Madril mengatakan pada masa sebelum reformasi, MPR merupakan lembaga negara dengan posisi yang paling tinggi. Dalam hal ini, MPR menetapkan GBHN yang di dalamnya terdapat arah-arah politik hukum serta pembangunan yang harus diikuti oleh setiap komponen bangsa.
"Apakah akan menjadi seperti itu ke depannya, ini adalah hal-hal yang belum terklarifikasi dengan baik dan ketika ide ini ditawarkan, implikasinya menjadi panjang, karena tidak sekedar membuat dokumen GBHN saja," ujar dia.
Implikasi yang dia maksud tidak hanya pada kedudukan MPR dalam tataran lembaga negara, namun juga terhadap kedudukan lembaga lain, kekuasaan presiden, serta berimplikasi terhadap pasal-pasal sensitif yang terdapat di dalam konstitusi.
Bisa saja GBHN yang disusun ke depan menjadi GBHN versi reformasi. Tetapi bahwa fungsi GBHN itu di dalam sistem hukum kita belum terlalu jelas, dia akan digunakan untuk apa oleh MPR, apakah untuk mengevaluasi kinerja presiden.
Oleh sebab itu menghidupkan kembali GBHN, sama dengan mengembalikan MPR menjadi lembaga yang lebih tinggi dari lembaga lain.
"Saya tidak menggunakan kata yang tertinggi, tapi kalau dalam sistem presidensial GBHN kembali dihidupkan, maka MPR yang memiliki kewenangan atas GBHN seolah-olah menjadi lembaga yang lebih tinggi daripada lembaga negara lainnya," ujar dia.
Bila MPR memiliki posisi yang lebih tinggi dari lembaga yang lain, dia kemudian mempertanyakan apakah kekuasaan yang lain kemudian harus mengikuti MPR dalam membuat kebijakan.
"Ini adalah pertanyaan yang menurut saya perlu diklarifikasi. Karena tidak hanya untuk kekuasaan presiden, tapi juga untuk kekuasaan lembaga-lembaga yang lain," kata dia.
Alasan Perlu GBHN
Meskipun terdapat banyak catatan sebelum ide menghidupkan GBHN ini diterima, Usfunan menyebutkan terdapat beberapa masalah, yang mengakibatkan GBHN perlu dihidupkan kembali.
Permasalahan pertama adalah pada saat ini Indonesia tidak memiliki perencanaan pembangunan nasional secara menyeluruh yang meliputi kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudisial, serta pemerintah daerah.
"Padahal, pembangunan negara tidak dapat dilaksanakan secara parsial, karena akan berpotensi pada konflik kewenangan antara lembaga negara dalam mengimplementasikan tugasnya, begitu pula dengan pembangunan yang tidak sinkron," kata dia.
Permasalahan lain yang dia katakan adalah pembangunan nasional selama ini dilakukan secara tidak berkelanjutan, dikarenakan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sangat dimungkinkan berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) atau RPJMN sebelumnya.
Juga baca: Pakar: GBHN perlu sebagai pedoman pembangunan jangka panjang
Juga baca: Rektor UMP: GBHN menentukan arah pembangunan
Juga baca: Lemhannas ingatkan wacana diberlakukan GBHN tak jadi komoditas politik
Begitu juga di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, dia katakan, juga tidak menutup kemungkinan terjadi pembangunan yang tidak sinkron. "Karena keengganan dari pemimpin negara atau daerah, untuk menindaklanjuti program-program pembangunan sebelumnya," kata dia.
Selain itu terdapat perbedaan warna warni politik antara kepala pemerintahan, kepala daerah provinsi, dan kepala daerah kabupaten kota, menjadikan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara tidak sinkron dengan pemerintah pusat.
"Bayangkan saja, dengan kondisi Indonesia saat ini ada 415 kabupaten, 93 kota dan 34 provinsi di Indonesia," ujar dia.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019