Jakarta (ANTARA News) - Kalangan dunia usaha kecewa pemerintah belum juga memutuskan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada hari ini, Senin, sehingga menimbulkan ketidakpastian. "Kami tadi berharap rapat kabinet terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden, bisa memutuskan besaran kenaikan dan kapan diberlakukan. Tapi ternyata masih diambangkan. Ketidakpastian ini membuat pelaku usaha belum bisa tidur nyenyak," ujar Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Moneter dan Fiskal, Bambang Soesatyo, di Jakarta, Senin. Ia mengatakan, para pelaku usaha berharap pemerintah cepat mengambil keputusan terkait kenaikan harga BBM bersubsidi. "Mengenai besarannya kenaikan terserah pemerintah," katanya. Bambang mengatakan, kalangan pelaku usaha sudah siap dengan kenaikan harga BBM berubsidi, namun berharap kenaikan harga bbm tersebut di bawah 30 persen. "Jika kenaikan harga BBM jauh di atas 10-30 persen -- misalnya kenaikan harga premium dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter sama dengan kenaikan 33 persen -- maka dampaknya sangat besar terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah," ujarnya. Selain itu, Bambang menilai kenaikan harga BBM yang sangat besar bersifat destruktif terhadap kesejahteraan masyarakat, karena dikhawatirkan akan menimbulkan peningkatan jumlah warga miskin. "Harus ada kombinasi antara kenaikan (harga BBM) yang terjangkau, upaya penghematan, dan peningkatan produksi," ujarnya. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak menaikkan harga premium sebesar 33 persen karena akan memicu inflasi mencapai dua digit, mengingat premium merupakan BBM yang banyak digunakan masyarakat. Dikatakannya, kenaikan harga BBM rata-rata 20 persen saja akan menyebabkan harga barang-barang naik 5-7 persen, apalagi jika lebih dari 20 persen. Sementara sejak tahun 2005 ketika pemerintah menaikkan BBM rata-rata 126 persen, pemerintah dinilainya belum membuat kebijakan yang menstimulus pendapatan masyarakat. "Sudah sejak lama kecenderungan daya beli rakyat berbanding terbalik dengan kenaikan biaya produksi. Daya beli masyarakat terus melemah, sedangkan biaya produksi terus menggelembung karena harga BBM industri terus meningkat," katanya. Bambang berharap dalam situasi sekarang pemerintah dan otoritas moneter harus bisa mengeliminasi ancaman stagnasi.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008