Jakarta (ANTARA News) - Indonesia berada dalam posisi sulit untuk memperoleh "reschedulling" (penjadualan ulang) atas utang luar negeri untuk mengatasi masalah kenaikan harga minyak yang berdampak pada kenaikan subsidi dalam APBN."Pendapat saya kalau untuk (jadwal ulang pembayaran) utang luar negeri kayaknya bukan kebijakan yang begitu baik untuk kita adopsi sekarang karena kita sudah masuk dalam kelompok negara berpenghasilan menengah," kata Sekretaris Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Bappenas Syahrial Loetan di Jakarta, Senin. Syahrial menyebutkan, pendapatan per kapita Indonesia saat ini mencapai sekitar 2.000 dolar AS. Angka tersebut memang belum tinggi namun sudah masuk dalam negara berpenghasilan menengah.Selain itu, rating Indonesia oleh berbagai lembaga internasional menunjukkan peringkat yang cukup baik sehingga jika Indonesia memutuskan meminta penjadualan utang luar negeri, pasti akan berdampak kepada turunnya rating Indonesia. "Dan menurut saya pasti ini tidak akan baik untuk iklim bisnis dan kalau iklim bisnis tidak baik maka investor nggak mau masuk. Kalau nggak mau masuk yang akan terkendala lagi ya masalah tenaga kerja," katanya. APBNP 2008 mengalokasikan pembiayaan luar negeri "netto" sebesar negatif Rp13,11 triliun terdiri dari pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp61,26 triliun dan penarikan pinjaman luar negeri Rp48,14 triliun. Pinjaman LN ini terdiri dari pinjaman program sebesar Rp26,39 triliun dan pinjaman proyek Rp21,75 triliun. Sementara alokasi subsidi APBNP 2008 sebesar Rp234,41 triliun yang terdiri dari subsidi BBM sebesar Rp126,82 triliun, subsidi listrik Rp60,29 triliun, subsidi pangan Rp8,59 triliun, subsidi pupuk Rp7,81 triliun, subsidi benih Rp1,02 triliun, public service obligation (PSO) Rp1,73 triliun, subsidi bunga kredit program Rp2,15 triliun, subsidi migor melalui operasi pasar Rp500 miliar, subsidi kedelai Rp500 miliar, dan subsidi pajak Rp25,00 triliun. Subsidi BBM sebesar Rp126,82 triliun didasarkan pada parameter pehitungan volume premium 16,98 juta kl, minyak tanah 7,56 juta kl, minyak diesel/solar 11 juta kl, volume minyak tanah dikonversi ke elpiji sebesar 2,01 juta kl, dan alpha sebesar 9 persen. Sementara mengenai opsi menambah defisit APBN, Loetan mengatakan, UU sebenarnya mengijinkan defisit hingga mencapai 3 persen dari PDB, namun keputusan mengenai masalah itu harus kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Menurut Loetan, langkah penting yang harus dilakukan adalah mengubah perilaku penggunaan BBM agar lebih hemat karena pola konsumsi dalam tiga bulan pertama 2008 ini sudah melampaui dari target yang ditetapkan. "Jadi memang benar imbauan Presiden tentang perlunya penghematan tidak terkecuali di kantor, mal, dan pabrik. Saya ingat di Bappenas tahun lalu bisa menghemat Rp15 juta per bulan dari penghematan ini," katanya. Menurut dia, penghematan anggaran di kementerian/lembaga yang sudah diputuskan sebesar 10 persen, dapat saja ditambah lagi sebesar 10 persen atau hingga mencapai 25 persen. "Kenapa tidak, saya pikir bisa ditambah 10 persen lagi, apalagi yang penyerapannya tidak begitu bagus. Tahun kemarin saja penyerapan anggaran hanya 80 persen. Saya yakin republik ini masih jalan kalau dipotong 20 persen," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008