Kupang (ANTARA News) - Para nelayan asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak pertengahan April hingga kini kesulitan mencari ikan, karena perahu-perahu mereka telah disita dan dibakar oleh patroli Angkatan Laut Australia ketika sedang mencari ikan di wilayah "seabed line" atau garis bentang perairan laut antara Indonesia-Australia.
"Kami sekarang kesulitan untuk mencari ikan karena perahu-perahu kami yang dibawa untuk mencari ikan di wilayah perairan Laut Timor dirampas kemudian disita dan dibakar oleh patroli Angkatan Laut Australia dalam suatu operasi pada bulan April lalu," kata Haji Mustafa, salah seorang nelayan asal Kelurahan Oesapa Kupang kepada ANTARA di Kupang, Senin.
Nada penyesalan yang sama disampaikan pula oleh sejumlah nelayan lainnya seperti Haji Guntur Dala, Haji Metu, Haji Akealidin dan Haji Mukhtiare Ali yang bermukim di sebuah perkampungan nelayan asal Bugis, Sulawesi Selatan di Kelurahan Oesapa itu.
"Sudah sekitar sembilan perahu kami disita kemudian dibakar oleh patroli Angkatan Laut Australia ketika sedang mencari ikan di wilayah perairan Laut Timor," ujar Haji Metu yang mengaku pernah ditangkap Australia pada 2002.
Sementara Konsul RI di Darwin, Australia Utara, Harbangan Napitupulu mengatakan, sejak 24-26 April 2008, tercatat sedikitnya 14 perahu dan kapal nelayan Indonesia yang ditangkap otoritas Australia dengan jumlah awak kapal dan nahkoda sekitar 264 orang.
"Saat ini mereka mendekam di pusat penahanan di Darwin," katanya seperti dilaporkan ANTARA Canberra, Minggu (1/5).
Ia menambahkan, saat ini ada kecenderungan kapal-kapal nelayan Indonesia ditangkap di wilayah "seabed line" Australia, tetapi nelayan-nelayan Indonesia umumnya masih berada di dalam wilayah perairan Indonesia.
"Sepertinya ada ketidaktahuan nelayan-nelayan kita mengenai kejelasan batas mana mereka boleh menangkap ikan padahal nelayan-nelayan kita itu sudah puluhan tahun melaut dan dulu tidak ada masalah. Kenapa sekarang jadi masalah," katanya.
Pemerintah dan AL Indonesia diminta bela nelayan sendiri
Haji Mustafa mengatakan, perahu-perahu mereka dilengkapi dengan perangkat "Global Positioning System (GPS)" serta peta Indonesia yang dikeluarkan Angkatan Laut RI untuk menghindari keteledoran memasuki wilayah perairan Australia.
"Perahu-perahu kita masih dalam wilayah perairan Indonesia, tetapi GPS itu tidak diakui oleh otoritas Australia dan menggiring para nelayan kita masuk ke wilayah perairan negeri Kanguru," katanya dengan mengutip seorang saudaranya yang sedang didekam di pusat penahanan Darwin.
Setelah perahu-perahu digiring masuk ke wilayah perairan negara itu, tambahnya, para awak kapal dialihkan semuanya ke kapal patroli Australia dan perahu-perahu tersebut ditembak dan terbakar semuanya di tengah laut.
"Saya pernah mengalami sendiri hal itu ketika ditangkap oleh patroli Angkatan Laut Australia pada 2002 bersama puluhan nelayan Indonesia lainnya," ujar Haji Metu.
Haji Guntur Dala menambahkan, saat ini pihaknya mengalami kesulitan besar untuk mencari ikan karena armada perahu mereka yang menjadi "jantung kehidupan keluarga" dibakar oleh otoritas Australia ketika sedang mencari ikan di wilayah perairan Indonesia.
"Ini fakta yang kami alami, tetapi kami tidak pernah mendapat pembelaan dari pemerintah Indonesia. Negara sepertinya tidak memiliki kepedulian terhadap nasib nelayannya sendiri," tambah Haji Mustafa.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008