Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) sebaiknya mempertahankan tingkat bunga acuannya, BI Rate, sebesar 8,0 persen, meskipun tingkat inflasi selama April 2008 sebesar 0,57 persen sudah lebih rendah dari inflasi Maret 2008 sebesar 0,95 persen. "Menurut saya BI Rate jangan sampai naik, kalau naik dampak buruknya lebih banyak, terutama terhadap pasar modal," kata pengamat ekonomi, Aviliani di Jakarta, Senin. Menurut dia, kenaikan BI Rate akan mendorong terjadinya pelepasan kepemilikan surat utang negara (SUN) di pasar modal karena tingkat bunga yang naik. Di sisi perbankan, kenaikan BI Rate juga akan mendorong peningkatan biaya dana yang potensial akan meningkatkan kredit bermasalah (NPL) perbankan. "Jadi dampaknya sangat buruk baik bagi pasar modal maupun bagi perbankan," tegas Aviliani. Ia mengatakan, selisih BI Rate dengan bunga dana The Fed saat ini sebesar 6 persen, sudah cukup tinggi memberikan keuntungan kepada investor, sehingga BI tidak perlu menambah selisih itu. "Dengan suku bunga The Fed saat ini sebesar 2 persen, BI Rate 8,0 persen sudah memberi return yang cukup besar. Kalau dengan 8,0 persen saja sudah memberi keuntungan besar, ngapain dinaikkan lagi," katanya. Menurut dia, justru yang harus diupayakan saat ini adalah penurunan BI Rate, sehingga selisih antara BI Rate dengan bunga Fed tidak terlalu besar. Peluang penurunan sebenarnya ada, namun risikonya terlalu besar. Besarnya selisih antara bunga Fed Fund dengan BI Rate dikhawatirkan akan menarik dana dalam jumlah besar dari luar negeri ke Indonesia. Dana besar itu jika keluar secara tiba-tiba karena adanya sentimen negatif dapat mengakibatkan terjadinya gejolak finansial. "Aliran dana masuk yang tinggi ini yang dikhawatirkan memunculkan adanya bubble (balon)," katanya. Dalam kondisi saat ini, kata dia, penentuan BI Rate tidak perlu hanya terpaku pada besaran inflasi, tetapi juga harus melihat faktor-faktor lainnya. "Jadi tidak perlu berdasar inflasi, tetapi juga harus dilihat apakah ada negara lain yang memberi yield (imbal hasil) setinggi Indonesia. Ternyata Indonesia tetap yang paling tinggi," kata Aviliani. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008