Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Inggris berharap kesepakatan "satu negara dua sistem" menjadi dasar dalam mencari solusi untuk mengakhiri pertikaian antara pengunjuk rasa anti-Rancangan Undang-Undang ekstradisi dan pemerintah yang membuat situasi Hong Kong memburuk.
"Pengaturan 'satu negara dua sistem' disepakati ketika Inggris meninggalkan Hong Kong pada 1997 dengan pertimbangan yang mendasar, yakni demi kemakmuran dan masa depan Hong Kong," kata Duta Besar Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins usai meresmikan pembukaan pendaftaran Beasiswa Chevening 2019 di Jakarta, Rabu malam.
Jenkins menambahkan, pemerintah Inggris mendorong kedua belah pihak untuk segera duduk bersama dan mencari solusi untuk menghindari bertambahnya korban dan mengembalikan situasi Hong Kong yang aman serta kondusif.
"Kami peduli pada situasi ini dan menteri luar negeri kami memantaunya dari dekat....Kami berharap resolusi dapat ditemukan berdasarkan kesepakatan pengaturan tersebut," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab telah melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu China Wang Yi di sela-sela Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN di Bangkok, Thailand, awal Agustus lalu.
Selain membahas isu-isu bilateral, dalam pertemuan itu Raab juga meminta China untuk menghormati unjuk rasa damai di Hong Kong, yang dulu merupakan bagian dari koloni Inggris.
"Tentang Hong Kong, saya menggarisbawahi Inggris dan China memiliki komitmen bersama yang mengikat atas kebebasan yang diabadikan dalam Deklarasi Bersama, berdasarkan hal itu ketika kita menyesalkan adanya kekerasan, perlu diingat unjuk rasa damai adalah hak dasar dan seharusnya dihormati," kata Raab, seperti dikutip dari Reuters.
Baca juga: Bandara Hong Kong kembali dibuka pascabentrokan
Baca juga: PBB minta kepolisian Hong Kong menahan diri hadapi demonstran
Baca juga: Global Times: Wartawan kami yang disandera massa dibebaskan aparat
Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019