Pengamat Asia Selatan dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, saat ditemui dalam sesi diskusi di Jakarta, Rabu, mengatakan keterlibatan aktif itu merupakan upaya memenuhi tanggung jawab moral Indonesia sebagai negara yang memiliki hubungan historis, sosial-politik, ekonomi dengan India dan Pakistan. Tak hanya itu, menurut Agung, tanggung jawab menciptakan perdamaian di dataran tinggi Kashmir juga diemban Indonesia mengingat posisinya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB).
Bukan hanya tanggung jawab moral, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode 2019-2024 juga memiliki beban psikologis untuk aktif mendorong perdamaian di Kashmir. "Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo jilid II, posisi wakil presiden diisi oleh seorang kiai, Ma'ruf Amin. Ada beban psikologis bagi pemerintahan sekarang," kata Agung menambahkan.
Selain pengamat, asosiasi organisasi kemanusiaan di Asia Tenggara SEAHUM (Southeast Asia Humanitarian Committee) juga meminta pemerintah Indonesia lebih aktif merespon ketegangan di Kashmir demi mencegah warga sipil jadi korban konflik kemanusiaan. Direkur Utama Sekretariat SEAHUM Amin Sudarsono mengatakan pihaknya mendorong Indonesia jadi penghubung India dan Pakistan agar dua negara bersedia membangun dialog.
"Ada dua hal yang kami, SEAHUM, ingin sampaikan. Pertama, pemerintah Indonesia memiliki peluang besar terlibat membantu diplomasi perdamaian di Kashmir. Kedua, kami sebagai asosiasi kemanusiaan akan selalu standby melihat detik demi detik situasi di sana, sejauh ini kami belum menerima informasi ada pergerakan manusia setelah jalur komunikasi diputus dan 10.000 tentara diturunkan di Kashmir," kata Amin.
Sejak situasi di Kashmir kembali tegang pada awal Agustus, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah mendorong India dan Pakistan membicarakan isu Kashmir dalam forum bilateral. Namun, Indonesia belum menawarkan diri berperan jadi negosiator atau penghubung untuk India dan Pakistan agar bersedia berbicara di meja runding.
Situasi politik di negara bagian Kashmir, India, kembali memanas setelah pemerintah pusat membatasi ruang gerak dan jalur komunikasi, serta menempatkan 10.000 tentara di wilayah tersebut. Tak hanya itu, pemerintah India juga menutup sekolah dan kampus, menerapkan jam malam, meminta wisatawan ke luar dari Kashmir, dan menjadikan pemimpin di negara bagian itu sebagai tahanan rumah.
Pembatasan yang dilakukan sejak 4 Agustus itu merupakan upaya pemerintah mengantisipasi aksi massa yang memprotes pencabutan otonomi khusus di Kashmir pada 5 Agustus. Padahal, otonomi khusus di Kashmir telah berjalan selama 70 tahun dijamin oleh konstitusi India Pasal 370. Berdasarkan peraturan itu, negara bagian Jammu dan Kashmir berhak memiliki aturan perundang-undangan, bendera, dan kebebasan mengatur nyaris seluruh sektor, kecuali urusan luar negeri, pertahanan dan komunikasi.
Saat otonomi khusus itu berlaku, pemerintah negara bagian Kashmir berwenang memberi izin tinggal dan mengatur jual beli lahan serta properti.
Namun, setelah status istimewa dicabut, untuk pertama kalinya, warga di luar wilayah Kashmir dapat membeli tanah dan rumah di negara bagian itu. Alhasil, bagi sebagian besar warga setempat, kebijakan pemerintah India merupakan upaya mengubah demografi Kashmir yang dihuni mayoritas Muslim.
Baca juga: Indonesia berpeluang jadi negosiator konflik Kashmir
Baca juga: Priyanka Chopra dituduh pro perang nuklir India-Pakistan
Baca juga: Sementara Pakistan-India tegang, seorang anak mengira bom mainan
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019