"Secara prinsip bangsa dan negara memerlukan arah pembangunan yang bersifat jangka panjang. Jika tidak ada, maka sangat mungkin terjadi diskontinuitas tema besar pembangunan nasional," katanya di Purwokerto, Rabu malam.
Anjar mengatakan hal itu terkait dengan wacana amandemen UUD 1945 yang terbatas pada pembahasan GBHN serta hasil Kongres V PDI Perjuangan yang merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN.
Menurut dia, arah pembangunan sangat ditentukan oleh visi-misi presiden terpilih dan hanya berlangsung lima tahunan.
Akan tetapi, kata dia, presiden terpilih berikutnya belum tentu melanjutkan arah pembangunan yang sudah dirintis presiden sebelumnya.
Baca juga: Pakar pertanyakan guna GBHN jika tidak memiliki konsekuensi
Baca juga: Pakar nilai wacana GBHN ingin wujudkan stabilitas politik semu
Baca juga: Lemhannas ingatkan wacana diberlakukan GBHN tak jadi komoditas politik
Dengan demikian, lanjut dia, bangsa ini bisa mengalami stagnasi pembangunan karena tidak adanya kesinambungan pembangunan dari rezim ke rezim.
"Pada titik ini saya setuju dengan adanya GBHN. Akan tetapi, sebelum mengambil keputusan untuk kembali menggunakan GBHN sebagai arah pembangunan nasional, perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut, pertama, harus diatur secara jelas siapa yang berwenang membuat GBHN," katanya.
Anjar mengatakan kenyataan di Indonesia dan seakan-akan menjadi suatu konvensi bahwa pihak yang mengajukan rancangan GBHN selalu pemerintah yang kemudian diajukan ke MPR.
Sementara "pekerjaan" MPR, kata dia, hanyalah menyetujui lalu menetapkannya dan kemudian diberikan cap MPR.
"Apakah hal seperti ini akan terjadi pada MPR di kemudian hari? Pertimbangan kedua, dalam bentuk hukum apa GBHN dituangkan? Ketetapan MPR kah? Jika dalam bentuk ketetapan MPR, maka ketetapan MPR harus dihidupkan kembali," katanya.
Karena itu, kata dia, perlu adanya penegasan tentang materi dan status hukum ketetapan MPR dalam sistem hukum Indonesia termasuk ketetapan MPR/MPRS yang masih dinyatakan berlaku.
Ia mengatakan pertimbangan ketiga, apabila menggunakan GBHN, pranata pertanggungjawaban presiden kepada MPR harus ditradisikan kembali sebagai bentuk laporan bahwa presiden telah melaksanakan amanah rakyat yang dituangkan dalam GBHN.
"Tentu hal ini akan mempengaruhi sistem pemerintahan presidensial yang berlaku setelah adanya pemilihan presiden secara langsung. Dalam konteks ini, kembali menghidupkan GBHN menjadi sesuatu yang rumit secara ketatanegaraan dan tentu akan melemahkan sistem presidensial," katanya.
Pemerintah tidak memberlakukan lagi GBHN sebagai penentu arah negara dan sebagai gantinya menerbitkan UU No 25/2004 yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019