Palu (ANTARA News) - Achrul Udaya, seorang pemerhati ekonomi di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), berpendapat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan membuat jumlah penggangguran di Indonesia menjadi kian banyak. "Setiap kali kenaikkan BBM, penggangguran bukan menurun, tetapi justru sebaliknya semakin meningkat," kata pemilik Hotel Sentral di Palu, Minggu. Ia mengatakan, jumlah penggangguran di tanah air saat ini mencapai sekitar 40 juta orang, dan jika pemerintah tetap memaksakan BBM bersubsidi naik seperti hasil kajian Departemen Keuangan (Depkeu RI) sebesar 28,7 persen, dipastikan pertumbuhan penggangguran di Indonesia semakin bertambah. "Bisa jadi jumlah penggangguran bisa bertambah hingga mencapai angka 60 juta orang," kata pengusaha berusia 42 tahun itu. Menurut dia, jika pemerintah tetap juga menaikan harga BBM pada Juni 2008 sesuai hasil perhitungan dari Depkeu RI, dimana BBM premium naik dari Rp4.500, menjadi Rp6.000/liter, dan solar dari Rp4.300, naik menjadi Rp5.500/liter, serta minyak tanah dari Rp2.000, menjadi Rp2.300/liter, otomatis biaya operasional perusahaan meningkat. Di satu sisi, biaya operasional meningkat, gaji buruh pun mau tidak mau ikut disesuaikan. "Dan jika perusahaan tidak mampu lagi mengimbangi kenaikan biaya opersional, dipastikan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahan-perusahaan," ujarnya. Jika sampai banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK terhadap karyawan mereka, karena kondisi keuangan perusahaan yang sulit, maka pemerintah pun akan semakin sulit pula menekan angka penggangguran. "Dan jika hal itu benar-benar terjadi, ini masalah besar yang akan dihadapi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla," kata dia. Karena itu, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan secara bijaksana, apalagi menghadapi pesta demokrasi pada 2009 sangat riskan sekali, sebab dampaknya bisa memicu gejolak harga barang dan kebutuhan pokok di pasaran. otomatis, akibat kenaikan BBM, biaya transportasi dan kebutuhan masyarakat dipastikan ikut bergerak naik, sebab biaya produksi membengkak. Dan jika semua harga naik, masyarakat kecil semakin menjadi sengsara, sebab daya beli semakin menurun. Seharusnya, pemerintah dan DPR bersama-sama memperbaiki terlebih dahulu iklim investasi agar para investor tak segan-segan menanamkan modalnya di tanah air. "Bukan buru-buru menaikan harga BBM, akibat kenaikan harga minyak dunia," tambah Udaya. Pemerintah dan kalangan DPR dari pusat hingga daerah seyogyanya menciptakan iklim investasi yang sehat dan kondusif, sehingga investor tertarik dan mau menanamkan modalnya. Dengan demikian, ada lapangan kerja baru yang tersedia untuk menampung para tenaga kerja dalam negeri, sehingga angka penggangguran di negara yang berpenduduk lebih 200 juta jiwa ini semakin berkurang. Sementara Ketua Organda Sulteng, Syamsuddin Baco, mengatakan entah apa terjadi nantinya di lapangan jika pemerintah bersikeras tetap menerapkan kenaikan harga BBM sebesar 28,7 persen pada Juni mendatang. Dampaknya sangat membebani masyarakat, termasuk kalangan pengusaha angkutan. Kalau harga BBM naik, otomatis biaya operasional dan produksi naik. "Kalau tarif angkutan naik, masyarakat dipastikan berteriak," kata dia. Sebaliknya, jika tarif tidak disesuaikan, akan ada banyak pengusaha angkutan `gulung tikar` karena biaya operasional tidak seimbang lagi dengan pendapatan. Menurut dia, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan dan mengkaji dengan bijaksana karena dampaknya cukup berat bagi masyarakat. Sebagai bentuk penolakan terhadap rencana kenaikan BBM tersebut, DPD Organda Sulteng dalam waktu dekat ini akan melayangkan surat kepada pemerintah melalui DPP Organda pusat di Jakarta. "Kami tetap tidak setuju dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Apapun alasannya," ujar Baco. (*)
Copyright © ANTARA 2008