Jakarta (ANTARA) - Politikus Golkar Markus Nari yang juga anggota DPR 2009-2014 didakwa merintangi pemeriksaan pada pengungkapan kasus KTP Elektronik.

Dia di sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, dalam perkara korupsi pengadaan KTP-Elektronik untuk terdakwa Miryam S Haryani dan Sugiharto.

"Terdakwa Markus Nari telah sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Saksi Miryam S. Haryani dan Sugiharto dalam perkara tindak pidana korupsi proyek KTP Elektronik tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri atas nama Irman dan Sugiharto pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ahmad Burhanuddin.

Terkait perkara mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, pada Desember 2016 Markus meminta seorang pengacara bernama Anton Tofik datang ke ruang kerjanya di DPR untuk menanyakan perkembangan KTP-E.

Pada 7 Maret 2017, Markus kembali meminta Anton datang ke ruang kerjanya untuk memantau perkembangan persidangan perkara tindak perkara korupsi KTP-E.

"Atas permintaan itu, Anton Tofik menyanggupinya dan meminta biaya operasional dengan mengatakan, 'Tolong Pak bantu-bantu'," kata jaksa.

Baca juga: Markus Nari didakwa dapat 1,4 juta dolar AS dari proyek KTP-e
Baca juga: Anggota DPR Markus Nari segera disidang terkait kasus KTP-e

Selanjutnya terdakwa menjawab agar biaya operasional diambil di Muhamad Gunadi alias Gugun sopir terdakwa dengan mengatakan, "'Nanti ambil di Gugun.' Pada 8 Maret 2017 bertempat di dekat Kalibata, Anton Tofik menerima uang sebesar 10.000 ribu dolar Singapura melalui Gugun," kata jaksa.

Pada 9 Maret 2017, Anton Tofik lalu meminta sidang KTP-E dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan agenda dakwaan.

Anton melaporkan bahwa Markus disebut menerima aliran dana KTP-E sebesar 400 ribu dolar AS. Markus selanjutnya meminta Anton datang ke rumahnya di Pancoran.

Anton baru menemui Markus pada 10 Maret 2017 di rumah Markus.

"Pada pertemuan tersebut terdakwa menanyakan mengenai posisi terdakwa dalam perkara proyek KTP-E, 'Bagaimana perkembangannya di pembacaan dakwaan itu, aman nggak dalam dakwaan itu yang dibacakan?'," kata jaksa.

Atas pertanyaan tersebut, Anton Tofik menyampaikan bahwa nama terdakwa disebut dalam surat dakwaan sebagai yang turut menerima aliran uang KTP-E sebesar 400 ribu dolar AS. "Selanjutnya terdakwa kembali meminta Anton Tofik untuk memantau persidangan KTP-E," kata jaksa.

Baca juga: KPK upayakan hadirkan Paulus Tannos di Indonesia
Baca juga: KPK jelaskan peran empat tersangka baru kasus KTP-el

Pada 12 Maret 2017, Markus memerintahkan Anton untuk mencari berita acara pemeriksaan (BAP) atas nama dirinya dan Miryam S Haryani. Anton pun menyanggupinya.

Anton lalu menemui Panitera Pengganti PN Jakarta Pusat Suswanti pada 13 Maret 2017 untuk mendapat foto kopi BAP atas nama Markus Nari dan Miryam S Haryani.

Atas permintaan itu, Suswanti pun mencarinya lalu menyerahkan foto kopi BAP pada 14 Maret 2017. Anto pun memberikan uang Rp2 juta kepada Suswanti.

Keesokan harinya, pada 15 Maret 2017, Anton menyerahkan foto kopi BAP tersebut kepada Markus.

"Setelah membaca BAP atas nama Miryam S. Haryani, terdakwa mengatakan kepada Anton Tofik, 'Wah ini nama saya disebut-sebut dalam BAP Miryam S. Haryani, tolong nanti kamu antarkan BAP ini ke kantor Ibu Elza Syarief karena Elza adalah pengacara Miryam'," kata jaksa.

"Atas permintaan tersebut, Anton Tofik menyanggupinya. Selanjutnya terdakwa kembali memberikan uang kepada Anton Tofik sebesar 10 ribu dolar AS," kata jaksa Burhan.

Baca juga: KPK tetapkan empat tersangka baru kasus KTP-e
Baca juga: KPK umumkan tersangka baru kasus KTP-e sore ini

Anton lalu menandai dengan stabilo warna kuning tulisan nama "Markus Nari" dan nominal uang yang diterima "Markus Nari" terkait proyek KTP-E dalam BAP Miryam.

Kemudian Markus menandai tulisan yang distabilo tersebut dengan tulisan "dicabut". Markus pun meminta agar Anton membujuk Miryam untuk tidak menyebut namanya dalam sidang dengan cara mengantarkan BAP tersebut kepada Elza Syarief selaku pengacara Miryam.

Pada 17 Maret 2017, Markus lalu menemui Miryam dan memintanya untuk mencabut keterangan di sidang pengadilan soal Markus menerima sejumlah uang. Pada hari yang sama, Miryam menemui Elza dengan tujuan berkonsultasi soal BAP tersebut.

"Miryam menanyakan 'Bu, kalau saksi-saksi yang lain tidak mengakui menerima uang, bagaimana kondisi saya yang sendirian mengaku? Nanti saya kan jadi sendirian donk…?'," kata jaksa.

Elza Syarief menjawab "Ya tidak juga Yan, kamu kan tidak tahu saksi-saksi lain ngomong apa? "Karena BAP itu kan rahasia dan saksi juga tidak akan mendapatkan copy-nya kecuali tersangka," ungkap jaksa mengungkapkan percakapan Miryam dan Elza

Pada hari yang sama, Anton pun menemui Elza di kantornya dan di tempat itu juga masih ada Miryam. Pada pertemuan tersebut, Miryam S. Haryani seketika menanyakan mengenai BAP miliknya dan Anton pun menyerahkan fotokopi BAP yang sudah ditandai dengan stabilo kuning dengan tulisan "dicabut".

Masih pada hari itu, Anton menghubungi Markus Nari dan melaporkan sudah menyerahkan fotokopi BAP Miryam. Markus lalu memberikan 10 ribu dolar Singapura kepada Anton.

Baca juga: KPK akan umumkan tersangka baru KTP-e pekan depan


Pada 23 Maret 2017, saat Miryam dihadirkan jaksa penuntut umum KPK dalam sidang di pengadilan sebagai saksi, Miryam pun mencabut keterangan dalam BAP soal penerimaan Markus sebesar 400 ribu dolar AS.

Pencabutan keterangan pada BAP tersebut mempersulit penuntut umum membuktikan unsur memperkaya atau menguntungkan orang lain, diantaranya Markus Nari.

Sementara dalam perkara mencegah atau merintangi pemeriksaan sidang terhadap Sugiharto, Markus Nari menemui seorang pengacara bernama Robinson dari kantor pengacara Alfonso and Partner yang merupakan pengacara Amran Hi Mustari dalam perkara korupsi dana aspirasi anggota Komisi V DPR pada Kementerian PUPR.

"Dalam pertemuan tersebut, terdakwa meminta Robinson untuk menyampaikan pesan kepada Sugiharto melalui Amran Hi Mustary yang merupakan rekan sekamar Sugiharto di rutan KPK Guntur agar di persidangan Sugiharto tidak menyebut nama terdakwa sebagai penerima aliran dana proyek KTP-E dengan imbalan uang kepada Sugiharto. Atas permintaan tersebut, Robinson menyanggupinya," kata jaksa Burhanuddin.

Beberapa hari kemudian, Robinson pun menemui Amran dan menyampaikan permintaan Markus. Atas permintaan itu, Amran meneruskan pesan ke Sugiharto.

"Atas pesan tersebut, Sugiharto menolak dengan mengatakan, 'Tidak Pak, saya mau jujur terus terang saja. Apa adanya yang saya alami'," kata jaksa
​​​​​​​
Di persidangan Sugiharto akan menerangkan sesuai dengan BAP-nya bahwa terdakwa menerima uang dari Sugiharto sebesar 400 ribu dolar AS di gedung kosong yang letaknya di samping TVRI Senayan.

Pada 5 April 2017, Markus kembali menanyakan kepada Robinson apakah pesan kepada Sugiharto telah disampaikan karena Markus akan dipanggil sebagai saksi di persidangan atas nama Irman dan Sugiharto. Atas pertanyaan tersebut Robinson mengiyakan.

Pada 12 Juli 2017, Sugiharto memberikan keterangan sesuai dengan BAP-nya bahwa Markus menerima uang dari Sugiharto sebesar 400 ribu dolar AS di gedung kosong yang letaknya di samping TVRI Senayan.

Atas perbuatannya tersebut, Markus Nari didakwa dengan pasal 21 atau 22 jo pasal 35 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
​​​​​​​
Pasal itu mengatur mengenai orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Markus juga didakwa menerima 1,4 juta dolar AS dalam perkara pengadaan KTP-E pada tahun anggaran 2012-2013.

Terkait perkara ini, Miryam sudah divonis 5 tahun penjara. Sedangkan Sugiharto divonis 15 tahun penjara.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019