Solo (ANTARA News) - Risiko kematian penderita Tuberculosis (TBC) jauh lebih besar dari kematian yang diakibatkan penyebaran virus Flu Burung atau Avian Influenza (AI).
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) (Depkes), Tjandra Yoga, di Solo, Sabtu, mengatakan, jika dilihat dari angka kematian yang terjadi, setiap tahun terjadi 88.000 kematian akibat TBC di Indonesia.
"Jika jumlah tersebut dibagi 365 hari dalam setahun, rata-rata terjadi 200 kematian akibat TBC dalam sehari," katanya.
Ia membandingkan dengan penyebaran flu burung di negara ini yang telah menyebabkan 133 orang terjangkiti, di mana 108 penderita di antaranya meninggal dunia.
"Namun, yang harus tetap diwaspadai dari flu burung ialah jika sampai terjadi pandemi," katanya.
Ia menuturkan, pada kasus TBC, terjadi penurunan jumlah penderita dibanding tahun 1990 lalu.
Saat ini, lanjut dia, jumlah penderita TBC di Indonesia mencapai sekitar 250.000 orang.
Mengalami penurunan dibanding tahun 1999, yang mencapai sekitar 282.000 penderita.
"Demikian juga dengan angka kematian akibat TBC, dari 193.000 per tahun pada tahun 1990-an, kina hanya sekitar 88.000 per tahun," katanya.
Salah satu upaya yang dinilai berhasil dalam menekan penderita TBC ini ialah dengan adanya strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), yakni pengawasan langsung melalui pengobatan jangka pendek.
Namun, ia juga mengakui bahwa belum seluruh rumah sakit di Indonesia ini telah mengaplikasi sistem ini.
"Baru sekitar 20-30 persen rumah sakit yang telah mengaplikasikan sistem ini," katanya.
Bahkan yang lebih parah lagi, dia menambahkan, ialah minimnya, bahkan hampir tidak ada dokter praktik yang menggunakan strategi DOTS itu.
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008