Tatanan sosial, keagamaan dan lingkungan bisa selaras karena punya kearifan lokal yang efektif dan itu adanya di Indonesia. Di Lombok Utara mereka punya tata nilai yang tidak hanya diapresiasi secara kolektif tapi efektif difungsikanJakarta (ANTARA) - Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat dua periode Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi menilai konflik horizontal di masyarakat yang seringkali dipicu oleh faktor agama, sumber daya alam dan lemahnya hukum dapat diredam dengan kekuatan dan nilai-nilai kearifan lokal.
Hal ini berdasarkan pengalamannya mengkaji rendahnya angka konflik horizontal di kawasan Lombok Utara.
"Padahal di sana itu tempat wisata NTB yang cukup berkembang, mestinya ketika pariwisata berkembang itu potensial dengan konflik agraria, benturan masyarakat asli dan pendatang. Apa karakter mereka? ternyata basis meredam adalah kekuatan masyarakat di tingkat desa,” kata TGB Zainul Majdi dalam diskusi buku "Desa Millenium Ketiga Prospek dan Tantangan Bisnis" di Jakarta, Rabu.
Menurut TGB Zainul Majdi di Lombok Utara dikenal istilah awig-awig yang merupakan produk hukum adat yang telah disepakati bersama.
Dalam mengatasi pencurian misalnya, masyarakat di Lombok Utara menghukum pencuri dengan membawanya keliling desa dengan kalung bertuliskan “saya pencuri” sebelum akhirnya dikeluarkan dari kampung.
“Kalau (pencurinya) orang Inggris ya tulisannya bahasa inggris, dan itu berlaku bagi semua orang. Nilai budaya ini menjaga mereka dari konflik horizontal, ada bagian dari khazanah budaya mereka yang jadi solusi,” ucap dia.
Baca juga: Puncak Jazz Festival 2020 ajang musik dunia angkat kearifan lokal
Menariknya, kata TGB Zainul Majdi, meski secara pengamanan syariah Lombok Utara dikenal tidak terlalu kental, tapi nilai budaya dan kearifan yang tumbuh ternyata paralel dengan penghayatan keagaman.
“Tatanan sosial, keagamaan dan lingkungan bisa selaras karena punya kearifan lokal yang efektif dan itu adanya di Indonesia. Di Lombok Utara mereka punya tata nilai yang tidak hanya diapresiasi secara kolektif tapi efektif difungsikan,” ujar dia.
Oleh karena itu, TGB Zainul Majdi melihat Undang-undang Desa secara positif karena azas rekognisi dan subsidiaritas di dalamnya.
Dari sisi basis legal upaya untuk memberdayakan desa sudah bagus dan ditangkap oleh masyarakat desa.
“Artinya ada kesadaran yang tumbuh untuk mengkonsolidasikan dirinya, tumbuh, belajar, agar jadi ruang, geografis, demografis, dan sosiologisnya. Kadang kita bicara tentang mereka dalam paradigma yang keliru, padahal mereka yang punya khazanah untuk kita,” ucap dia.
Baca juga: Kearifan lokal budaya Melayu diusulkan melalui Perda di Kepri
Baca juga: Menelisik kearifan lokal Batik Betawi Terogong
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019