jika ingin mengoperasikannya untuk mendukung Warisan Budaya Dunia UNESCO di Sawahlunto harus duduk bersama dulu termasuk pemerintah daerah
Padang (ANTARA) - "Tuuuuut... Tuuuut... Tuuut... Tuutttt... Ttuuttt... Tttuttt..," suara "Mak Itam" membelah pagi yang masih gigil di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Lengkingnya merambat jauh hingga lembah dan memantul di dinding-dinding bukit yang mengepung kota arang itu.
Sejak "Mak Itam" pensiun, ia ditidurkan dengan tenang di dalam depo. Suaranya yang nyaring tidak pernah terdengar lagi, meski bagi warga Sawahlunto, suara itu akan terus melekat erat dalam ingatan.
Pagi itu "Mak Itam" melengking lagi. Beberapa orang sekitar depo tertegak diam, diserbu sejuta kenangan yang mengharu biru dalam dinding ingatan yang mulai berkarat.
Kereta api adalah sarana transportasi paling canggih saat pertama kali menjajaki lereng-lereng Bukit Barisan hingga Sawahlunto pada akhir abad 19. Logam hitam dengan suara ketel uap yang khas itu, membuat masyarakat Minangkabau kala itu berdecak takjub.
Pedati yang saat itu menjadi angkutan barang paling jamak digunakan masyarakat dengan cepat tergantikan "monster besi hitam" yang kemudian digelari "Mak Itam".
Lengking kereta adalah hal yang sangat akrab dengan Sawahlunto. Dimulai penemuan batu bara di Ombilin oleh W.H. De Grave pada tahun 1871, jalur kereta api dibangun dari Padang Panjang ke Sawahlunto.
Jalur pertama dari Padang Panjang menuju Muaro Kalaban sepanjang 56 kilometer selesai pada Oktober 1892 dan dilanjutkan menuju Sawahlunto pada 1896. Kereta api itu untuk mengangkut batu bara dari Ombilin hingga pelabuhan "Emma Haven".
Namun, suara peluit "Mak Itam" yang khas itu baru terdengar di Sawahlunto pada 1921, ketika Pemerintah Hindia Belanda mendatangkannya dari pabrik Esslingen (Jerman) dan SLM (Swiss) untuk menggantikan lokomotif lama.
Setelah itu, lengking nyaring "Mak Itam" seakan menyatu dengan detak jantung kota itu. Sebuah kota kecil di pedalaman Sumatera, tetapi memiliki fasilitas kelas I untuk zamannya. Semua atas nama mutiara hitam. batu bara.
"Mak Itam" adalah lokomotif uap jenis E10 60. Kereta jenis itu dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staatsspoorweg ter Sumatra's Westkust (SSS) dari pabrik Esslingen (Jerman) dan SLM (Swiss) pada 1921, 1926, dan 1928.
Satu dari dua lokomotif legendaris di Sumbar itu digerakkan oleh tenaga uap dari batu bara atau kayu jati. Roda giginya mampu "memanjat" lereng-lereng Bukit Barisan di Sumatera yang memiliki kecuraman 6-10 persen dengan menarik muatan 130 ton batu bara.
Lokomotif itu pernah dibawa ke Ambarawa pada 1997 untuk perawatan dan perbaikan. Namun, atas inisiatif Masyarakat Peduli Kereta Api Sumbar (MPKAS) bersama pemerintah daerah pada 3 Desember 2007, "Mak Itam" dikembalikan ke Sawahlunto dan 2009 beroperasi sebagai kereta api wisata.
Ribuan wisatawan dalam dan luar negeri datang ke Sawahlunto hanya untuk menikmati sensasi naik kereta uap itu. Sayang, karena sudah uzur, "Mak Itam" hanya bisa melayani hingga Maret 2013.
Pada Juni 2016 "Mak Itam" kembali diperbaiki dan bisa beroperasi lagi, tetapi cuma sebentar dan kembali Tidak Siap Operasi (TSO). Hingga kini, lokomotif legendaris itu tidak pernah benar-benar berhasil diperbaiki sehingga tidak pernah dioperasikan lagi, bahkan diwacanakan sebagai cagar budaya.
Namun, akhir Juli 2019, peluit "Mak Itam" kembali terdengar di lereng-lereng bukit Sawahlunto. Sebuah harapan terbersit di sudut-sudut hati, mungkinkah "Mak Itam" dibangkitkan lagi? Menyusuri rel yang meliuk-liuk sepanjang 300 kilometer di perbukitan Ranah Minang?
Kepala PT KAI Divre II Sumatera Barat Fredi Firmansyah menyebut saat ini kondisi "Mak Itam" siap operasi. Kapan saja dibutuhkan lokomotif uap itu bisa dijalankan. Namun, agar bisa dioperasikan harus ada izin operasi dari Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan serta didukung kondisi rel yang laik.
"Jadi tidak bisa hanya PT. KAI Divre II saja. Semua saling terkait. Jadi jika ingin mengoperasikannya untuk mendukung Warisan Budaya Dunia UNESCO di Sawahlunto harus duduk bersama dulu termasuk pemerintah daerah," katanya.
Ia menyebut operasional "Mak Itam" untuk pariwisata sebelumnya, PT. KAI menyewakan unit pada Pemerintah Kota Sawahlunto. PT KAI hanya menyediakan masinis dan perawatan.
Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nyoman Shuida menyebut Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) dinilai pantas menyandang status warisan budaya dunia karena konsep Tiga Serangkai yang dicetuskan pemerintah Belanda saat itu.
Tiga Serangkai dimaksud meliputi Kota Tambang di Sawahlunto, infrastruktur perkeretaapian, dan Pelabuhan di Teluk Bayur. Artinya, infrastruktur kereta api, baik lokomotif maupun rel, adalah bagian tidak terpisahkan dari WTBOS sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Dengan demikian, bukankah pengaktifan kembali seluruh jalur kereta api di Sumbar, dalam kerangka Warisan Budaya Dunia tersebut, seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai sejarahnya (heritage) ?
Setidaknya pendapat itu mirip dengan pemikiran pimpinan KPK Saut Situmorang. Pagi itu, Kamis (18/7) ia tiba-tiba bicara tentang kereta api, topik yang jauh menyimpang dari sambutannya tentang peran lembaga antirasuah itu dalam konteks pencegahan di daerah.
Ia menggambarkan bagaimana Sumbar bisa memanfaatkan aset yang ada, seperti kereta api, untuk menghasilkan pendapatan dengan memberikan sensasi pada wisatawan tentang bagaimana menikmati keindahan persawahan yang berjenjang-jenjang dengan latar Bukit Barisan dan Danau Singkarak dari atas kereta uap peninggalan Belanda.
Aset memang menjadi salah satu dari delapan area intervensi KPK untuk disupervisi dalam konteks pencegahan korupsi. Mungkin itu pula yang mendorongnya bicara tentang kereta api. Aset luar biasa milik Sumbar yang kini teronggok saja, seakan tidak berharga.
Padahal, untuk Indonesia sekarang, di mana lagi orang bisa merasakan duduk dalam kereta api uap sambil menikmati suara peluit panjangnya yang khas dan keindahan danau selain di Sumbar?
Pengalaman itu, mungkin adalah pengalaman sekali seumur hidup yang bisa dirasakan, terutama bagi generasi milenial yang selama hidup, mungkin, belum pernah bersua dengan "Mak Itam", apalagi mencoba sensasi menaikinya.
Ranny Rastati dalam Jurnal Kajian Jepang Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (PSJ UI) 2018 menulis milenial adalah generasi yang lebih memilih hiburan sebagai kebutuhan pokok. Mereka lebih suka membeli pengalaman dan melakukan perjalanan atau wisata untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Sebagai generasi yang fasih teknologi, milenial akan mencari dan membandingkan beberapa referensi sebelum memutuskan untuk berwisata.
Karakter itu tentu saja sangat cocok dengan tema petualangan dan sensasi menaiki "Mak Itam" peninggalan Hindia Belanda di Ranah Minang.
Sensasinya tidak akan kalah dari menaiki kereta uap Big Boy di Amerika Serikat yang kembali diaktifkan pada 2019 setelah dipensiunkan pada 1961, atau menikmati keindahan alam Melbourne menggunakan kereta uap Puffing Billy di Australia.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata indonesia (Asita) Sumbar Ian Hanafiah mengatakan kereta api uap itu aset yang sangat luar biasa untuk mendukung pariwisata di Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Ia menyebut wisatawan asing sangat tertarik untuk atraksi wisata seperti itu.
Wisatawan dari Jerman dan Australia, katanya, pasar paling potensial. Namun, tidak tertutup juga pada wisatawan asing dari negara lain jika paket wisata yang ditawarkan mampu menarik perhatian mereka.
Ian menyebut wisata kereta api uap "Mak Itam" itu tidak membidik wisatawan harian, tetapi diarahkan pada wisata minat khusus. Pada wisata jenis itu harga yang mahal tidak menjadi masalah karena wisatawan yang datang memang menyewa "Mak Itam" hanya untuk rombongan mereka.
Nanti, dalam perjalanan, mereka akan sering berhenti di tengah jalan untuk berfoto dan menikmati pemandangan.
Sepanjang jalan dari Padang Panjang hingga Sawahlunto, menurut Ian, sangat banyak spot foto yang menarik hingga bisa menjadi magnet kuat bagi wisatawan, termasuk wisatawan milenial.
"Sekarang Sawahlunto sedang punya momentum untuk menjadi destinasi unggulan yang mampu menarik ribuan bahkan jutaan wisatawan. Jangan sampai momentum itu terlewat, lepas begitu saja," katanya.
Tuuttt....Tuuuttt...
Dalam ingatan ia merayapi dinding Bukit Barisan
Meliuk lewat rerimbunan, air terjun dan jejer sawah hijau kuning keemasan
Semerbak riak Danau Singkarak terserak dalam kenangan
Dalam lengking pagi "Mak Itam".
Baca juga: Cerita KPK dan kereta api legendaris "pemanjat" dinding Sumatera
Baca juga: KAI aktifkan lagi loko uap Ambarawa-Bedono
Baca juga: Sepur kluthuk Jaladara kembali dioperasikan
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019