Jakarta (ANTARA News) - Statuta Roma atau Roma Statute of the International Criminal Court adalah persetujuan yang disepakati tahun 1998 oleh United Nations Diplomatics Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk International Criminal Court (ICC) (Pengadilan Pidana Internasional).
ICC adalah pengadilan internasional yang permanen dan independen untuk mengadili pelaku kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Dengan terbentuknya ICC yang berkedudukan di Den Haag, Belanda itu, dunia internasional berharap agar praktek pemberian impunitas kepada para pelaku kejahatan serius dapat dihapuskan.
Meskipun Indonesia belum menjadi negara pihak dalam Statuta Roma itu (belum meratifikasi -red), secara domestik Bangsa Indonesia telah mengadopsi ketentuan-ketentuan Statuta Roma ke dalam hukum nasional antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan mengundangkan UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU n0 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Upaya-upaya yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tekad yang kuat dalam menghapuskan impunitas terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat.
Namun sayangnya berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut masih dianggap belum memenuhi harapan sejumlah pihak.
Terkait dengan Statuta Roma, ada pendapat yang menyebut bahwa ratifikasi terhadap statuta itu adalah hal positif dalam rangka penegakan dan pemajuan HAM di tanah air. Bahkan konon Statuta Roma itu direncanakan dapat diratifikasi pada tahun 2008, sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM tahun 2004-2009).
Jika benar ratifikasi itu dilakukan, tentunya pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apa implikasi hukum yang akan dihadapi Pemerintah RI paska ratifikasi?, Apa manfaat yang diperoleh dari ratifikasi itu?
Bermula dari munculnya pertanyaan-pertanyaan itulah, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Departemen Luar Negeri (Deplu), menyelenggarakan Pertemuan Kelompok Ahli dengan mengambil topik bahasan "Indonesia menuju ratifikasi the Roma Statute of International Criminal Court/ICC : Implikasi Hukum dan Pengimplementasiannya".
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo, salah satu narasumber yang hadir dalam acara tersebut mengatakan sebelum dilakukan ratifikasi terhadap Statuta Roma (The Roma Statute of International Criminal Court/ICC), perlu ada pemahaman yang jelas terhadap ketentuan yang mengatur tentang ICC itu agar tidak menimbulkan persepsi yang salah (mispersepsi).
"Langkah kita ke depan, perlu ada pemahaman tentang ICC itu, selain itu perlu dilakukan harmonisasi dari ketentuan ketentuan perundang-undangan supaya tidak bertentangan," kata Harkristuti Harkrisnowo, yang juga pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia itu.
Karena untuk melakukan ratifikasi suatu ketentuan internasional harus melibatkan DPR, maka harus disampaikan kepada DPR alasan-alasannya mengapa ratifikasi itu perlu dilakukan.
"Dan yang juga tidak boleh ketinggalan adalah jangan sampai prinsip-prinsip keadilan, kebangsaan, kesetaraan di depan hukum menjadi hancur," ujar Harkristuti Harkrisnowo, yang dalam presentasinya banyak mengupas mengenai perbandingan Pengadilan HAM di Indonesia dengan ICC.
Untuk mengetahui apa itu ICC, Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Deplu Mulya Wirana menjelaskan, ICC atau yang dikenal dengan Pengadilan Pidana Internasional adalah lembaga peradilan permanen yang melakukan investigasi dan pengadilan terhadap individu atas kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
ICC hanya bertindak pada kasus-kasus kejahatan serius di negara yang tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan serius yang dimaksud.
"Prinsip ini dikenal dengan `the principle of complementarity`," kata Wirana.
ICC, menurut Wirana, hanya mengadili individual bukan negara.
Mengenai siapa yang ada dalam ICC itu, Wirana menjelaskan lembaga itu beranggotakan 18 hakim dan seorang jaksa penuntut yang dipilih, yang akan memimpin investigasi dan mengadili suatu perkara.
"Hakim dan jaksa tersebut akan dipilih oleh negara negara yang telah meratifikasi Statuta Roma itu," tegasnya.
Statuta Roma itu dibentuk pada tanggal 17 Juli 1998, sebanyak 120 negara mengesahkan Statuta itu dan mensyaratkan terbentuknya ICC. Sampai tanggal 14 Maret 2008, sebanyak 106 negara telah meratifikasinya.
"Statuta ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2002," katanya.
Anggota DPR RI Nursyahbani Katjasungkana mengharapkan pemerintah memberikan penjelasan kepada DPR mengenai latar belakang perlunya dilakukan ratifikasi Statuta Roma ("The Roma Statute of The International Criminal Court"/ICC), jika statuta itu akan diratifikasi.
"Kami harapkan ada penjelasan tentang latar belakang perlunya statuta itu (statuta Roma) diratifikasi. Sampaikan naskah akademik mengenai masalah ini," kata Nursyahbani Katjasungkana saat menjadi salah satu pembicara pada Pertemuan Kelompok Ahli dengan topik bahasan "Indonesia Menuju Ratifikasi the Rome Statute of International Criminal Court: Implikasi Hukum dan Pengimplementasiannya" di Jakarta, Selasa.
Menurut Nursyahbani, sebagai bagian dari masyarakat Internasional, Indonesia juga dituntut untuk menyesuaikan aturan-aturan yang telah dibuat.
Peran DPR dalam masalah tersebut, menurut Nursyahbani selain melakukan ratifikasi konvensi internasional juga melakukan pengawasan terhadap konvensi internasional yang diratifikasi itu.
"Karena di DPR ada proses politik yang terdiri dari fraksi-fraksi, maka pengambilan keputusan untuk meratifikasi suatu konvensi internasional akan dilakukan melalui mekanisme proses politik itu," demikian Nursyahbani.(*)
Oleh Oleh Agus Prasetyo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008